Jakarta, FORTUNE - Pemerintah mewacanakan perubahan lahan untuk rumah subsidi dari minimal 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi. Sementara, luas bangunannya akan dipersempit dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi. Rencana tersebut pun menuai pro-kontra. Bagaimana tanggapan pengembang dan asosiasi?
Pengamat dan Pelaku Bisnis Properti, Bambang Ekajaya menilai rencana itu sebagai terobosan untuk menekan harga properti yang selalu naik. Menurutnya, dengan semakin mahalnya pembebasan lahan, khususnya di sekitar kota-kota besar dan naiknya biaya konstruksi beberapa tahun terakhir, pengurangan ukuran lahan rumah subsidi dapat membantu menekan harga jual.
"Kita bisa melakukan studi banding virtual, luasan hunian di kota-kota besar seperti Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, Shanghai, dan lain-lain. Khususnya di Hong Kong, bahkan ada hunan yang hanya 10 meter persegi karena mahalnya harga properti di sana, disiasati dengan pengurangan luasan bangunan agar tetap terjangkau," jelas Bambang kepada Fortune Indonesia, Senin (2/6).
Namun, sebelum wacana itu dilakukan, ia menyarankan agar pemerintah mengambil langkah sosialisasi yang lebih masif dan tepat. Selain itu, model pengembangan rumah subsidi baru juga harus tetap memenuhi persyaratan SNI dan WHO atas dasar kenyamanan. "Lalu, perlu desain yang kreatif dan pas agar semua kebutuhan dasar hunian terpenuhi," katanya.
Fortune Indonesia juga telah menghubungi Ketua Umum Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto dan Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI), Junaidi Abdillah untuk meminta tanggapan terkait kabar ini. Namun, keduanya belum merespons hingga berita ini dipublikasikan pada Senin (2/6) sore.
Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait telah menyampaikan informasi itu dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI medio Mei 2025.
Rumah subsidi model baru itu ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terkhusus pekerja yang belum menikah. Model pengembangan baru itu hanya akan memiliki 1 kamar tidur. "Banyak sekali rumah subsidi ini dipakai oleh buruh. Kalau dia pakai dua kamar, itu terlalu mahal buat dia. Nah, dia banyak buruh itu yang single," kata Ara, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, implementasi model rumah subsidi dengan luas tanah kurang dari 30 meter persegi dinilai pas untuk area perkotaan. Sebab, harga lahannya terbilang tinggi. Misalnya di Depok dan Bekasi.
Selain itu, Ara menyebut kebijakan penurunan luas minimal tanah rumah subsidi akan meningkatkan jangkauan konsumen serta menciptakan ruang gerak lebih besar bagi pengembang.