Jakarta, FORTUNE - Bootstrap dalam startup adalah praktik yang jamak ketika para pendirinya belum mendapat pendanaan. Di Indonesia, strategi ini dialami oleh banyak startup, bahkan yang kini telah berstatus unicorn. Tokopedia dapat menjadi contoh. Pada awal pendiriannya, William Tanuwijaya pernah mengunggah tulisan bernada muram pada blog Tokopedia tentang sulitnya mencari pendanaan.
Ketika itu, menurutnya, tidak ada satu pun investor yang percaya Tokopedia akan berhasil. Alasannya kurang lebih sama: di Indonesia belum ada orang yang bisa jadi contoh sukses dari bisnis internet. Apalagi, sebagai pasar yang sangat potensial, hanya masalah waktu bagi Indonesia untuk kedatangan eBay, Rakuten, hingga Alibaba.
Para pemilik modal meragukan William, seorang pemuda kelahiran Pematang Siantar dengan latar belakang tak menonjol, dapat membuat sebuah platform baru yang mampu menyaingi semua raksasa marketplace tersebut. Toh, perusahaan berlogo burung celepuk itu bisa bertahan hingga akhirnya mendapatkan suntikan dari para pemodal ventura.
Lantas apa itu bootstrapping?
Bootstrapping mengacu pada proses memulai perusahaan hanya dengan menggunakan tabungan pribadi, termasuk dana yang dipinjam atau diinvestasikan dari keluarga atau teman, serta pendapatan dari penjualan awal.
Bisnis yang didanai sendiri tidak bergantung pada metode pendanaan tradisional, seperti dukungan investor, crowdfunding, atau pinjaman bank. Mereka megencangkan "ikat pinggang" dan menggunakan modal sendiri untuk meluncurkan bisnis.
Namun demikian, masih banyak orang bertanya apakah bootstrapping adalah cara terbaik untuk mengembangkan sebuah startup. Berikut aspek positif dan negatif dari bootstrapping: