Jakarta, FORTUNE - Cina terlihat lebih maju dibandingkan negara-negara lain dalam hal adopsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan persiapan regulasi pun tak terelakkan. Berdasarkan survei terbaru dari perusahaan perangkat lunak SAS yang berbasis di North Carolina, para pemimpin bisnis di Cina melaju lebih cepat dalam mengadopsi AI generatif dibandingkan rekan-rekan global mereka.
Menurut survei SAS yang dilakukan bersama Coleman Parkes Research, lebih dari 80 persen pemimpin bisnis Cina yang disurvei saat ini menggunakan Generative AI (GenAI) dalam operasi mereka, di atas rata-rata global sebesar 54 persen dan Amerika Serikat sebesar 65 persen.
"Cina terlihat lebih maju, tidak hanya dalam aspek praktis mengintegrasikan AI ke dalam sistem dan proses yang ada, tetapi juga dalam membangun kepercayaan dengan mempersiapkan untuk mematuhi regulasi GenAI," kata laporan tersebut.
Melansir Fortune.com pada Rabu (10/7), Chief Technology Officer di SAS, Bryan Harris, mengatakan bahwa Cina beralih ke AI generatif untuk membantu mengelola populasi besar dan data yang dikumpulkan dari mereka. "Pekerjaan perintis dalam AI generatif dapat memberikan Cina keunggulan kompetitif di dunia, terkait dengan membuka nilai dan data," katanya.
Namun, masalah keselamatan dan keamanan seperti halusinasi, deepfake, dan privasi data mendorong pemerintah untuk cepat mengembangkan aturan tentang teknologi baru ini. Survei SAS melaporkan bahwa sekitar 70 persen pemimpin bisnis Asia-Pasifik merasa "sepenuhnya siap" atau "cukup siap" untuk mematuhi regulasi AI generatif yang akan datang, dibandingkan dengan 59 persen di Amerika Utara dan 52 persen di Eropa Utara.
Tahun lalu, Beijing merilis beberapa aturan pertama di dunia yang mengatur AI generatif. Aturan tersebut mengharuskan chatbot mematuhi “nilai-nilai inti sosialis” dan melindungi keamanan nasional. Hukuman yang diterapkan tidak seketat yang dikhawatirkan pengamat, yang dibaca analis sebagai sinyal dukungan Beijing terhadap industri yang masih baru ini.
Pada bulan Oktober, pemerintahan Biden mengeluarkan perintah eksekutif yang menyerukan pengembang AI untuk membagikan data uji keselamatan dengan pemerintah AS. Awal tahun ini, Uni Eropa mengesahkan serangkaian regulasi AI komprehensif yang disebut Undang-Undang AI.
Namun, perusahaan AI mungkin kesulitan menavigasi kumpulan aturan AI yang berbeda. "Bagus memiliki regulasi. Hanya saja tidak baik memiliki tiga regulasi yang berbeda, itu tidak efisien," kata Harris.