BUSINESS

Sektor Ketenagalistrikan Butuh Investasi US$1T Guna Transisi ke EBT

Pemerintah berupaya untuk menekan biaya investasi tersebut.

Sektor Ketenagalistrikan Butuh Investasi US$1T Guna Transisi ke EBTSalah satu pembangkit listrik di Maumere, NTT. (ShutterStock_gungpri)
by
22 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Indonesia membutuhkan dana tidak sedikit untuk mendorong pemakaian energi bersih di dalam negeri, Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, modal utama dalam transisi energi menuju nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 adalah ketersediaan dan pengembangan energi baru terbarukan yang masif.

"Total investasi kelistrikan diproyeksikan US$1 triliun pada 2060 atau US$25 miliar per tahun. Diharapkan dengan dukungan teknologi yang kompetitif bisa menekan jumlah investasi tersebut," kata Arifin dalam sebuah webinar bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook 2020, Selasa (21/12).

Pemerintah tengah memetakan pengembangan energi baru terbarukan yang masif dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pemanfaatan hidrogen, dan pengembangan penyimpanan dari sisi permintaan melalui kompor listrik, kendaraan listrik berbasis baterai, serta pengembangan interkoneksi smart grid dan panas bumi.

Dalam mendorong transisi energi, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, dengan rencana tambahan pembangkit energi baru terbarukan 20,9 Giga Watt (GW) atau 51,6 persen dari total tambahan pembangkit hingga 2030. "Sehingga PLTU 1,1 Giga Watt dan bisa teralisasi diubah menjadi PLTS dan co-firing biomassa, sehingga bisa tercapai EBT 23 persen pada 2025," ujarnya.

Terpenting, kata Arifin, pengembangan pembangkit energi baru terbarukan memperhitungkan penawaran dan permintaan, kesiapan sistem, skala keekonomian, diikuti kemampuan domestik untuk menghasilkan pembangkit energi baru terbarukan sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor.

Perhatikan penawaran dan permintaan

Kendati telah menjadi prioritas utama bagi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi di masa mendatang, Arifin mengatakan pengembangan energi bersih yang diperuntukkan untuk mempercepat pemerataan akses energi di masa transisi energi harus tetap mempertimbangkan penawaran dan permintaan.

"Pengembangan pembangkit EBT harus memperhitungkan keseimbangan antara supply dan demand, kesiapan sistem, keekonomian, serta diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi industri EBT," katanya.

Pemerintah bakal menerapkan pajak karbon

Salah satu langkah yang diambil pemerintah dalam mengembangkan EBT adalah penerapan pajak karbon dengan tarif Rp30 per kilogram setara karbon dioksida. Tarif ini akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan skema cap and tax. "Peraturan ini diharapakan menciptakan iklim usaha dan investasi (di sektor EBT) yang lebih baik," ujar Arifin.

Kementerian ESDM terus mendorong terwujudnya kolaborasi yang inovatif yang dapat mengakselerasi transisi energi. "Kami berharap agar kerja sama seluruh pemangku kepentingan dapat terus diperkuat untuk membangun solusi kebijakan yang dapat mendukung transisi energi menuju net zero emission," kata Arifin.

Related Topics