Jakarta, FORTUNE – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk optimistis tahun depan kondisi bakal membaik, dan karena itu berfokus pada upaya perbaikan kinerja. Maskapai BUMN tersebut menyiapkan sejumlah strategi termasuk ikhtiar diversifikasi bisnis.
"2022 akan menjadi tahun konsolidasi bagi Garuda. Kami akan lebih berupaya mengurangi beban biaya operasional serta menyesuaikan fixed cost menjadi variable cost. Kami berharap langkah ini dapat didukung oleh seluruh pihak, terutama kreditur Garuda, mengingat ini menjadi milestone penting dalam upaya kami bertransformasi menjadi perusahaan yang semakin sehat,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, kepada Fortune Indonesia, Selasa (21/12).
Kinerja Garuda Indonesia saat ini tampak masih tercekik dampak pandemi COVID-19. Pada kuartal ketiga 2021 kerugiannya mencapai US$1,66 miliar atau setara Rp23,69 triliun (asumsi kurs Rp14.250). Rugi itu membengkak 54,7 persen dari US$1,07 miliar pada periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy).
Posisi kas dan setara kas maskapai tersebut juga makin menipis karena hanya mencapai US$39,91 juta (Rp568,79 miliar) atau turun 76,5 persen yoy. Aset perusahaan juga terkoreksi 12,7 persen menjadi US$9,42 miliar (Rp134,26 triliun).
Ekuitas (modal) Garuda Indonesia masih di teritori negatif, yakni sekitar US$3,61 miliar atau setara Rp51,38 triliun. Padahal, maskapai tersebut di saat sama memiliki total kewajiban (liabilitas) US$13,03 miliar atau setara Rp185,64 triliun.
Menurut Irfan, pembatasan pergerakan penumpang pada masa pengetatan pembatasan hingga awal kuartal ketiga berdampak cukup signifikan terhadap pendapatan perseroan. Berdasarkan laporan keuangan, Garuda Indonesia hanya beroleh pendapatan US$939,03 juta (Rp13,38 triliun) atau turun 17,54 persen secara yoy.
Namun, khusus pada periode Agustus–September 2021, lalu lintas perseroan tumbuh 83,1 persen.