Jakarta, FORTUNE - Tak mudah menjadi Executive Vice President (EVP) Transisi Energi dan Keberlanjutan di PT PLN (Persero). Sebab padanya melekat seabrek tanggung jawab yang bakal menentukan masa depan perusahaan. Ini tertuang dalam Peraturan Direksi nomor 0054.P/Dir/2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja PLN—yang menandai perubahan perusahaan sebagai holding ketenagalistrikan.
Diteken pada 20 Oktober 2022, beleid tersebut mengamanatkan EVP Transisi dan Keberlanjutan menyusun strategi percepatan transisi energi, merumuskan dan memperbarui peta jalan net zero emissions, hingga mengelola ESG perusahaan. Bahkan, muncul tugas baru yang sebelumnya tidak pernah ada dalam senarai tugas pokok pejabat PLN: mempertimbangkan dampak carbon pricing terhadap biaya investasi dalam penyusunan strategi transisi energi.
Dalam tiga tahun terakhir, carbon pricing memang banyak disorot pengusaha, bil khusus sektor energi. Instrumen pasar yang diatur pemerintah untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) itu bersandar pada Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Pada subsektor pembangkit listrik, salah satu bentuk implementasinya adalah perdagangan karbon di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Mandatori yang resmi dimulai Rabu (22/2) itu menyasar 99 PLTU—55 di antaranya milik PLN Group—dengan total kapasitas terpasang 33.596 MW.
PLN dan 41 perusahaan lain yang terlibat akan beroleh kuota emisi berupa persetujuan batas atas emisi bagi pelaku usaha (PTBAE PU) sebagai bekal perdagangan karbon. Jika selama setahun produksi emisi mereka lebih rendah (surplus) dari batas atas yang ditetapkan, sisanya bisa diperdagangkan sebagai kredit karbon ke PLTU lain yang produksi emisinya melebihi batas atas (defisit).
Sebagai perusahaan yang hampir 70 persen emisi langsungnya berasal dari pembangkit listrik, PLN tentu perlu "putar otak" agar instrumen nilai ekonomi karbon tak menghambat rencana transisi energinya. Musababnya jelas: ketika PTBAE PU yang ditetapkan pemerintah kian mengetat pada tahun-tahun mendatang, harga kredit karbon niscaya melambung dan bisa membebani keuangan PLN jika emisi gagal terpangkas.
Apalagi, dengan skenario business as usual, emisi yang dihasilkan pembangkit PLN bisa mencapai 433 juta ton CO2e per tahun pada 2030, meningkat dari 237 juta ton CO2e pada 2021. Sebagai gambaran, dalam Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023 yang dirilis Institute for Essential Services Reform (IESR), PLTU Paiton milik PT PLN Nusantara Power—subholding pembangkit PLN—diperkirakan mengalami defisit emisi karbon sekitar 1,3 juta ton CO2e pada 2021.
Dengan estimasi harga karbon US$2 per ton CO2e pada tahap awal, mereka hanya perlu melakukan pengimbangan (offset) dengan membeli kredit karbon senilai Rp39 miliar dengan pemilik pembangkit lainnya yang memiliki surplus emisi. Namun, bayangkan jika harga karbon meningkat hingga US$50 per ton—mereka harus merogoh Rp986,6 miliar untuk meng-offset emisi.
“Kami mulai menghitung, kira-kira berapa sih dengan batas atas emisi yang ditetapkan dalam Rapermen ESDM, berapa persetujuan emisi yang akan diberikan kepada masing-masing pembangkit, dan berapa dampaknya terhadap BPP [biaya pokok pembangkitan],” ungkap Kamia Handayani yang menjabat EVP Transisi Energi dan Keberlanjutan PLN, dalam webinar Carbon Footprint di Sektor Pembangkit Listrik pertengahan Juni 2022.