Sebagai contoh, kata dia, industri fesyen dapat menggunakan bahan ramah lingkungan yang dipadukan dengan budaya lokal ke dalam desain dan mengimplementasikan inklusivitas kaum muda, perempuan, dan disabilitas dalam praktik bisnis.
Menurut data Nielsen, sebut Angela, sebesar 73 persen usia milenial bersedia membayar lebih untuk produk yang berkelanjutan. Pertumbuhan tersebut seiring dengan banyaknya kaum muda yang menyadari isu sosial, lingkungan, budaya, serta kelestarian.
Selain itu, pihaknya juga mendorong industri fesyen untuk melakukan adaptasi serta transformasi ke teknologi digital hingga ke inti bisnis.
“Mulai dari model bisnis dan organisasi hingga sumber daya manusia, kita harus mampu beradaptasi untuk digitalisasi hingga ke intinya. Tidak hanya perihal menjual barang secara daring, tapi juga menganalisis big data untuk memprediksi tren dan membuat produksi lebih efisien,” katanya.
Dia menambahkan, industri fesyen juga membutuhkan untuk melengkapi kapabilitas baru pada sumber daya manusianya untuk memaksimalkan penggunaan teknologi.
“Pandemi COVID-19 telah mengubah cara kita hidup dan melakukan bisnis, kondisi ini juga telah mengakselerasi transformasi digital di seluruh dunia,” tuturnya.
Kemenparekraf pun akan melanjutkan upaya transformasi digital serta mendorong isu lingkungan dan keberlanjutan di industri fesyen, termasuk modest fashion.
“Dengan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan serta bersama setiap orang yang hadir di acara ini, saya percaya kita bisa mempercepat perubahan yang kita butuhkan dan memperkuat ekosistem industri modest fashion,” katanya.