Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi peternakan ayam (freepik.com/freepik
ilustrasi peternakan ayam (freepik.com/freepik

Jakarta, FORTUNE - Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang menurunkan tarif bea masuk dari 32 persen menjadi 19 persen bagi produk Indonesia, sekaligus membuka pintu tarif nol persen untuk produk asal AS, menimbulkan kekhawatiran baru bagi industri perunggasan dalam negeri. Dengan harga chicken leg quarter (CLQ) asal AS yang jauh lebih murah, ditambah tarif impor nol persen, pasar ayam domestik berisiko dibanjiri produk impor.

M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) menegaskan bahwa kondisi ini dapat menekan pelaku usaha perunggasan nasional yang saat ini saja menghadapi kelebihan pasokan.

“Perunggasan ini harus dilindungi supaya produk impor tak membanjiri, karena sepemahaman saya, unggas kita itu oversupply. Pertanyaannya, kemana akan lari excess supply ini?” ujarnya dalam diskusi “Tantangan dan Peluang Industri Perunggasan Indonesia terhadap Kesepakatan Dagang Amerika” di Tangerang, Kamis (18/9).

Rizal menambahkan, kebijakan tarif justru menurunkan nilai ekspor global 1,7 persen dan berimbas pada perlambatan ekonomi, termasuk Indonesia. Meski subsektor peternakan hanya menyumbang sebagian kecil pada PDB, kontribusinya dinilai strategis. “Unggas adalah sumber protein hewani paling murah dan bisa diakses masyarakat menengah ke bawah. Jadi urgensi sektor ini sangat tinggi, bukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk kualitas sumber daya manusia,” ujarnya.

Namun, Rizal menilai peluang tetap terbuka. Dengan oversupply, ekspor bisa menjadi jalan keluar. “Ada ruang dan peluang ekspor unggas Indonesia. Volume ekspor bisa naik 1,1 persen dari nilai saat ini. Tapi tanpa peningkatan produktivitas dan daya beli domestik yang kuat, pasar terbuka justru jadi paradoks: impor masuk lebih besar, tapi industri dalam negeri tak mampu mengisi ruang pasar,” paparnya.

Dari perspektif pelaku usaha, masalah utama bukan hanya soal tarif, melainkan efisiensi biaya produksi. Anton J. Supit dari Apindo menilai pemerintah dan swasta perlu menyusun strategi besar agar industri unggas tidak sekadar bertahan, tetapi juga mampu bersaing.

“Kalau kita mau melawan Amerika dengan tarif, kata kuncinya sinergi pemerintah dan swasta untuk bikin grand design. Benchmark paling cocok adalah Thailand, yang mampu menjadi pengekspor ayam walaupun pasar domestiknya juga dibanjiri impor. Kuncinya efisiensi, mulai dari pakan ternak sampai teknis budidaya,” ungkap Anton.

Ia menyoroti tingginya harga jagung, komponen utama pakan yang menyumbang hingga 70 persen biaya produksi. “Kalau jagung kosong kita tidak boleh impor bebas, harus lewat BUMN. Regulasi seperti ini menambah biaya. Akibatnya, meski kompetensi produksi ayam kita tinggi, harga tetap tidak kompetitif,” ujarnya.

Anton menegaskan ayam dan telur adalah komoditas strategis karena merupakan sumber protein paling murah. “Kalau ayam dan telur tidak bisa kita produksi sendiri, kita akan tergantung impor. Konsumsi masyarakat pun akan terganggu. Karena itu, sektor ini jangan sampai jadi subjek negosiasi dagang semata,” tegasnya.

Makmun, Direktur Hilirisasi Hasil Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, menuturkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan langkah antisipasi dan perlindungan terhadap produsen menjadi perhatian utama.

“Kami sudah mengusulkan agar kebijakan terkait poultry ini di-drop karena kita sudah memberi ruang lebar untuk sapi. Kami juga sedang menyusun bersama DPR perlindungan harga, bukan hanya Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi konsumen, tetapi juga harga eceran terendah untuk produsen agar tidak ada predatory pricing,” kata Makmun.

Ia menambahkan, sebagian besar impor dari Amerika berupa pakan dan produk olahan susu, bukan daging unggas siap konsumsi. Namun defisit neraca dagang tetap perlu diwaspadai. “Ekspor kita lebih kecil dibanding impor dari AS. Ini jadi masukan penting dalam perundingan,” tuturnya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan utama industri perunggasan Indonesia bukan sekadar tekanan eksternal dari tarif dagang, melainkan masalah struktural di dalam negeri: biaya pakan tinggi, keterbatasan logistik dingin, serta kelembagaan peternak kecil yang lemah.

Kesepakatan dagang RI–AS dapat menjadi peluang, terutama untuk akses bahan baku pakan lebih murah dan potensi ekspor ke pasar niche. Namun, tanpa reformasi hulu-hilir, sektor unggas berisiko hanya menjadi penerima barang impor murah. “Industri unggas Indonesia perlu berubah dari price taker menjadi market shaper. Dengan efisiensi pakan, hilirisasi produk, dan diversifikasi pasar, sektor ini bisa naik kelas, bukan sekadar bertahan," kata Rizal.

Konferensi ILDEX Indonesia 2025 di Jakarta/Dok. FORTUNE IDN/Desy Y.

Editorial Team