Jakarta, FORTUNE - Diversifikasi bisnis PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) tak lepas dari peran Grup Banpu, pemegang saham utama perseroan sejak 2001.
Itu bermula dari Mei 2020, ketika Direktur Utama ITM, Mulianto, baru menjabat. Saat itu, Mulianto dihadapkan dengan kondisi yang rumit, buntut dari pandemi Covid-19 dan anjloknya harga batu bara. Keputusan pertamanya adalah mengonsolidasikan seluruh tim.
Peran dari Chairman Banpu, Chanin Vongkusolkit, juga CEO Banpu, Somruedee Chaimongkol dan COO Banpu, Kirana Limphayom sangat membantunya. Baik saat awal masa kepemimpinan maupun dalam mendorongnya menyusun strategi diversifikasi bisnis ITM.
ITM sendiri memiliki mimpi besar menjadi perusahaan energi yang fokus pada teknologi, inovasi, inklusi, dan keberlanjutan. Dukungan global akan memainkan peran penting dalam membantu ITM mewujudkan visi-misi itu. Mengingat, ITM mempunyai tiga pilar bisnis: pertambangan, jasa energi, energi terbarukan, dan lainnya. Adapun, ketiga pilar bisnis itu ditujukan untuk mengurai tiga dilema terkait energi, yakni energy equity, energy security, dan energy sustainability.
“Dari banyak riset yang ada, bumi semakin memanas. Di akhir abad, kalau sampai naik lebih dari 1,5–2 derajat celcius akan timbul banyak bencana alam dan lain-lain. Dan batu bara disebut sebagai faktor utama yang mengotori dunia,” jelas Mulianto. “Makanya lahir visi-misi baru itu.”
Berbekal pengalaman puluhan tahun, ITM telah mantap mengelola pertambangan dan jasa pendukungnya. Apalagi, mereka merencanakan ekspansi ke bisnis pelabuhan, demi memperkuat bidang logistik. Per awal Oktober 2024, proyek pelabuhan ITM sudah berada di tahap perencanaan dan persiapan infrastruktur. Operasionalnya diharapkan dimulai dalam 1–2 tahun ke depan.
Namun, ITM masih perlu dukungan eksternal untuk masuk ke pilar bisnis energi terbarukan dan lainnya. “Beruntung bahwa di Banpu, mereka dari sisi greener smarter-nya sudah jalan lama,” kata Mulianto.
“Kalau dibilang, ITM tidak ada pengalaman. Tapi sebenarnya kami didukung oleh satu korporasi yang sangat luar biasa.”
Secara langsung, ITM juga didukung oleh Banpu NEXT, pemegang 30 persen saham PT ITM Bhinneka Power (IBP) milik perseroan. Dari segi pengalaman, Banpu NEXT telah berkecimpung di berbagai bisnis terkait energi terbarukan. Sebut saja baterai, kendaraan listrik dan infrastruktur pendukungnya, hingga pembangkit listrik bertenaga matahari, angin, dan air. Lebih lanjut, di Amerika Serikat, perusahaan afiliasi ITM berpengalaman dalam bidang gas extraction dan pembangkit listrik tenaga gas, juga CCUS (carbon capture, utilization and storage).
Dus, ITM tak gentar untuk mendiversifikasi pilar bisnis ketiga miliknya. Langkah pertamanya, masuk ke bisnis pembangkit listrik tenaga surya pada 2023. ITM melakukannya dengan membeli 65 persen saham Suryanesia, perusahaan solar-as-service yang telah menghasilkan 758,18 juta kWh listrik per Oktober 2024. Hingga paruh I-2024, komitmen kapasitas dari produk berbasis surya ITM mencapai 34,5 MWp.
Tentu saja keputusan itu tak diambil secara asal. Sejumlah hal jadi pertimbangan. Pertama, secara geografis, paparan sinar matahari di Indonesia bersifat konsisten sepanjang tahun. Rata-rata 4,8–5,4 kWh/m² per hari. Selain itu, berdasarkan konsep levelized cost of electricity (LCOE) atau biaya listrik yang diratakan, dalam 5–10 tahun ke depan, sumber energi solar diproyeksi selevel (bahkan bisa jadi mulai lebih murah) dari batu bara.
Mulianto berujar, “Karena dengan perkembangan teknologi panel surya sendiri, juga dari permintaan, skala ekonomi, dan macam-macam. Kami melihat trennya akan naik. Belum lagi kalau batu bara ini kena carbon tax, [harganya] akan lebih mahal lagi.”
Bagaimanapun, untuk sekarang, batu bara masih sumber energi paling murah, sehingga masih akan menjadi bagian dari bisnis inti ITM setidaknya 10–15 tahun. Namun, ITM akan mengelola bisnis itu secara lebih bertanggung jawab atau responsible transition. Demi tetap bisa mengatasi dua dilema (energy equity dan security) sekaligus memaksimalkan nilainya.