Jakarta, FORTUNE – PT PLN (Persero) menyatakan keberhasilannya dalam menghemat beban take or pay senilai Rp40 triliun dari renegoisasi pembangkit listrik dengan sejumlah independent power producer (IPP). Hal ini dilakukan untuk mengurangi tanggungan kelebihan listrik.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan PLN terus berupaya untuk mengurangi suplai listrik dari proyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) dengan mengundurkan jangka waktu hingga membatalkan kontrak pembangunan pembangkit listrik.
“Kami sebut sebagai renegosiasi, sehingga kami berhasil mengurangi beban take or pay sekitar Rp40 triliun,” ujar Darmawan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (8/2).
Dengan skema take or pay, PLN diwajibkan untuk menyerap listrik yang diproduksi pembangkit swasta sesuai dengan kontrak. Jika tidak, PLN bisa mendapat penalti. Skema ini telah membebani perseroan tersebut selama bertahun-tahun
Sejauh ini PLN masih terus menanggung kelebihan pasokan listrik yang dihasilkan dari sejumlah pembangkit batu bara, gas, dan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini lantaran rendahnya tambahan permintaan listrik.
Di Jawa, misalnya. Daya listrik dalam satu tahun ke depan akan bertambah 6.800 megawatt (MW), namun permintaan hanya naik 800 MW. Di Sumatera, penambahan permintaan listrik hingga 2025 diperkirakan hanya 1,5 GW dengan penambahan daya listrik 5 GW. Sama halnya di Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan. Lantas sebenarnya seperti apa skema take or pay yang jadi beban PLN itu?