Jakarta, FORTUNE - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan eksportir minyak sawit mentah atau CPO tengah menghitung kembali untung-rugi ekspor bahan baku minyak goreng. Hal ini menyusul kenaikan kewajiban domestic market obligation atau DMO 30 persen.
“Kemungkinan yang terganggu eksportir kecil. Mereka akan menghitung apakah masih menguntungkan. Kalau pas-pasan atau malah rugi pasti mereka berhenti dulu. Ini yang akan mengganggu kinerja ekspor,” kata Sekretaris Jenderal GAPKI, Eddy Martono, melalui pesan singkat, Jumat (11/3).
Kebijakan DMO CPO merupakan syarat pengusaha mendapatkan izin ekspor dari Kementerian Perdagangan. Pada 14 Februari-8 Maret 2022, Kemendag telah menerbitkan 126 izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya untuk 54 eksportir CPO sebanyak 2,77 juta ton.
Kendati demikian, sebagian eksportir yang sudah terlanjur memiliki kontrak jangka panjang dengan negara importir harus tetap mengirim CPO di tengah selisih harga internasional yang terlampau lebar dari domestic price obligation atau DPO.
Menurut Eddy, kebijakan DMO 30 persen itu berisiko bakal memperlambat proses persetujuan ekspor yang diberikan kepada eksportir. Konsekuensinya, biaya ekspor CPO bakal membengkak. Yang belakangan disebut itu dipastikan akan mengganggu kinerja ekspor CPO dalam negeri.
Kinerja ekspor produk sawit pada 2021 mencapai 40,31 juta ton dengan nilai ekspor US$35,79 miliar, atau meningkat sebesar 56,63 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor ini berkontribusi 17,6 persen terhadap total ekspor nonmigas pada 2021.
Sebetulnya, kata Eddy, dengan kebijakan DMO 20 persen stok minyak goreng di dalam negeri sudah lebih dari cukup. Sebab, berdasarkan paparan Menteri Perdagangan kemarin, total distribusi minyak goreng hingga 23 hari telah mencapai 415.787 ton, sedangkan perkiraan konsumsinya hanya mencapai 327.321 ton.
“Artinya ini sudah cukup,” kata Eddy.