Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Head of Sales and Emerging Markets LinkedIn, Rohit Kalsy saat diskusi mengenai korelasi AI dengan tren pencari kerja di Indonesia, Selasa (11/6). (EKO WAHYUDI/Fortune Indonesia)

FORTUNE - Laporan terbaru LinkedIn mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam adopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sebanyak 94% eksekutif di kawasan Asia Pasifik berencana menjadikan AI sebagai prioritas pada 2025, tetapi Indonesia belum memiliki talenta AI yang mumpuni.

 “Tingginya kesenjangan keterampilan di Indonesia perlu ditangani dari dua arah. Perusahaan harus mengutamakan keterampilan dalam merekrut karyawan, sementara para profesional harus terus belajar,” kata Rohit Kalsy, Indonesia Country Lead at LinkedIn, Selasa (25/2).

Dengan insight dari lebih 1,1 miliar anggota dan hampir 69 juta perusahaan, Work Change Report perdana LinkedIn mengungkapkan bahwa perusahaan yang adaptif menjadi lebih kompetitif. Perusahaan yang lebih awal menggunakan AI pun sudah menuai hasilnya: dalam dua tahun terakhir, 51% bisnis global yang telah menggunakan AI Generatif melaporkan peningkatan pendapatan sebesar 10% atau lebih.

AI telah terbukti mampu mendorong pertumbuhan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Namun, tanpa investasi riil untuk pengembangan keterampilan AI, Indonesia bisa terhambat dalam memanfaatkan potensi AI untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan.

Paduan kemampuan AI dan keterampilan humanis

Seiring dengan transformasi AI di industri, data LinkedIn menunjukkan bahwa di Indonesia, keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan diperkirakan akan berubah drastis pada 2030. Kondisi ini meningkatkan kesenjangan keterampilan di Indonesia yang sulit diatasi dalam jangka pendek karena para profesional membutuhkan waktu untuk mengembangkan kemampuan baru.

Faktanya, 1 dari 2 perekrut di Indonesia mengatakan kurang dari separuh lamaran kerja yang mereka terima memenuhi semua kualifikasi yang dibutuhkan dan diinginkan. Sementara itu, hampir dua pertiga (63%) mengatakan bahwa ada ketidaksesuaian antara keterampilan pencari kerja dengan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan.

Keterampilan yang paling sulit ditemukan di antara kandidat Indonesia adalah keterampilan AI (45%); keterampilan teknis/IT seperti pengembangan software dan engineering (40%); dan soft skills seperti komunikasi dan pemecahan masalah (32%).

Di sisi lain, 67% perekrut dan pemimpin perusahaan di Indonesia berencana merekrut lebih banyak tenaga kerja di 2025 dibanding 2024. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan dan tenaga kerja untuk menyesuaikan strategi dan mengadopsi pendekatan yang mengutamakan kemampuan.

“AI akan terus menjadi nilai tambah dari sebuah keterampilan karena AI semakin relevan untuk setiap profesi di masa depan dan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari hampir semua pekerjaan,” kata Rohit.

Ia menambahkan, “Ketika teknologi mulai mengotomatiskan banyak aspek intelektual dan teknis dari pekerjaan, keterampilan humanis seperti empati, kepemimpinan, dan kolaborasi justru akan menjadi 'hard skills' yang baru.”

Keterampilan, bukan latar belakang

Perusahaan yang mengutamakan keterampilan dibandingkan gelar, reputasi, atau pengalaman perusahaan sebelumnya, menurut LinkedIn, memiliki keuntungan strategis dalam menempatkan kandidat yang tepat di posisi yang sesuai. Dengan begitu, kinerja yang dicapai bisa lebih optimal.

Pendekatan berbasis keterampilan ini tidak hanya menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih efisien, tetapi juga mendorong kesetaraan dan membuka peluang bagi kandidat dari berbagai latar belakang.

Rohit mencontohkan, selama pandemi ada banyak pegawai di industri makanan yang kehilangan pekerjaan karena tutupnya sejumlah restoran. Di sisi lain, kebutuhan tenaga kerja untuk customer service pada layanan digital justru mengalami peningkatan.

Pada kondisi tersebut, pekerja di industri makanan sebenarnya telah memiliki 70% keterampilan yang dibutuhkan. Mereka terbiasa menghadapi pelanggan, namun kenyataannya banyak yang tetap  menganggur, sementara posisi layanan pelanggan tetap kosong. “Seandainya saat itu kita fokus pada keterampilan, kita bisa menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih efisien. Ketidakseimbangan ini pun terjadi di seluruh industri,” kata Rohit.

Secara global, 50% perekrut di LinkedIn kini secara jelas menggunakan indikator keterampilan untuk mengisi posisi lowong. “Data kami pun menunjukkan bahwa pendekatan yang mengutamakan keterampilan dapat meningkatkan jumlah kandidat potensial hingga 9,5x lipat di Indonesia dibanding perekrutan yang hanya berdasarkan pengalaman,” ujarnya.

Pergeseran ini mengubah cara perusahaan dalam menemukan dan mengembangkan talenta, dari perekrutan konvensional ke perekrutan yang menekankan pada keterampilan. “Faktanya, 92% direksi di kawasan Asia Pasifik mengatakan bahwa mereka cenderung mempekerjakan seseorang dengan kemampuan yang berpotensi untuk terus berkembang dan memiliki keinginan belajar daripada kandidat yang memiliki lebih banyak pengalaman kerja tetapi kurang mampu beradaptasi,” kata Rohit.

Pendekatan yang mengutamakan keterampilan juga menguntungkan perusahaan karena mereka dapat meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang ada untuk mengisi peran-peran penting. Di Indonesia, 85% perekrut menempatkan peningkatan keterampilan karyawan sebagai prioritas utama untuk tahun 2025, dengan fokus pada AI (85%) dan soft skills seperti kolaborasi dan pola pikir yang berkembang (84%).

Kini, pekerjaan semakin menuntut karyawan untuk terus belajar, sehingga perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan keterampilan akan menempatkan tenaga kerja mereka untuk sukses dalam jangka panjang.

Editorial Team