Jakarta, FORTUNE - Jika bicara soal supermarket di Surakarta, maka Luwes akan menjadi salah satu nama yang muncul di benak para warga kota itu. Pertanyaannya, mengapa bisa begitu?
Fortune Indonesia berkesempatan menyambangi gerai Luwes Kestalan pada pertengahan Mei 2024. Letaknya hanya 1,1 kilometer dari Stasiun Solo Balapan.
Menjelang makan siang, lantai empat gerai itu mulai dipenuhi oleh pekerja dari area sekitarnya. Namun, ada pula pengunjung dari segmen lain, seperti orang tua dan anak yang baru pulang sekolah, mahasiswa, hingga para perempuan muda dan dewasa.
Mengapa pusat perbelanjaan Luwes begitu dapat minat beragam segmen konsumen? “Dari sisi harga, terjangkau. Bahkan kadang lebih murah dari toko grosir,” aku Nova, 29, yang lahir dan besar di Surakarta.
Tak hanya itu, para pekerja juga fasih berbahasa Jawa. Lokalitas seperti itu yang membuat Aulia, 27, setia menjadi konsumen setia Luwes sejak pindah dari Kota Bekasi ke Solo 13 tahun lalu.
Luwes Group menjajakan berbagai produk dengan harga terjangkau. Bagaimana bisa? Pertama, karena Luwes Group berani memasok barang dengan sistem beli putus. Kedua, medio 2024, Luwes Group sudah memiliki 21 gerai di berbagai kota/kabupaten di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, sehingga perusahaan bisa membeli barang dalam jumlah banyak.
Adapun, Luwes Group didirikan oleh sejoli pengusaha Solo, Tan Tjin Tjwan dan Djie Ping Nio. Generasi ketiga mereka lah yang kini bertindak sebagai Manajemen Luwes Group. Natasya Aviana Prasetiyo salah satunya. Ia dan saudara-saudaranya bertanggung jawab mengelola sekitar 10 gerai, di antaranya: Luwes Kestalan dan Luwes Gentan Park.
Untuk menyimpan stok, Luwes Group memiliki gudang sendiri. Demi menjaga efektivitas, sejumlah gudang hanya diaktifkan pada periode tertentu, seperti saat lebaran. Dus, yang konsisten beroperasi hanya sekitar 3–4 gudang.
Sebagai penerus perusahaan keluarga, Tasya serta para manajemen lain menyatakan akan mempertahankan DNA Luwes Group melalui slogan “Pilihan Tepat Belanja Hemat”. Di saat yang sama, perusahaan pun terus berinovasi.
Filosofi itu terefleksi pada langkah yang Tasya ambil saat menduduki kursi manajemen pada 2019, seiring dengan dimulainya estafet kepemimpinan dari generasi kedua. “Beruntungnya, saya bersama dengan saudara-saudara diberi kebebasan, [Papa bilang] ‘ini ada bisnis Luwes, kira-kira kalian tertarik untuk mengelola departemen apa ya?’,” ujarnya.
Punya latar pendidikan di bidang komunikasi pemasaran, Tasya melakukan dua hal: membuat tim pemasaran daring, guna menjangkau calon konsumen yang lebih terdiversifikasi. Ia pun menyempurnakan konsep dan pelaksanaan acara di outlet Luwes Group agar lebih terintegrasi.
Dengan tanggung jawab meneruskan keberhasilan generasi-generasi sebelumnya di pundak, tidakkah Tasya merasa terbebani? “Awalnya, memang khawatir," akunya.
Tasya memang sempat mengenyam pendidikan media dan komunikasi di National University of Singapore, lalu mendapat gelar master di UBC Sauder School of Business, Kanada. Namun, ia sadar, itu bukan segalanya. “Apa yang dipelajari selama sekolah itu enggak cukup. Mau belajar selama atau setinggi apapun, ilmu yang saya pelajari di buku enggak bisa 100 persen langsung diaplikasikan,” katanya.
Ia pun mencoba mendalami perilaku konsumen dan pasar secara praktikal. Dirinya acap kali datang ke toko. Bukan untuk inspeksi, melainkan untuk berdiskusi dengan karyawan-karyawan, ujung tombak Luwes. Dengan begitu, ia bisa lebih mengenali konsumen. Dari jenis barang yang dibutuhkan, hingga frekuensi pelanggan berbelanja di Luwes.