Kaum borjuis muncul di sebuah kota kecil pada abad ke-11 ketika Eropa Barat dan Tengah sedang berkembang menjadi wilayah perdagangan. Namun, semakin meluas akibat adanya konsentrasi dalam bidang ekonomi dan kehadiran organisasi mandiri yang bertujuan membuat perlindungan.
Sejarah mencatat, bahwa perserikatan ini muncul ketika para pengusaha individu. Misalnya, seperti pengrajin dan pedagang berkonflik dengan tuan tanah yang menuntut sewa lebih besar daripada kesepakatan sebelumnya.
Dalam peristiwa tersebut, para borjuis atau para pemilik modal secara politik mendukung raja atau ratu terhadap kekacauan yang disebabkan oleh keserakahan tuan-tuan feodal tersebut.
Akhirnya, pada akhir abad ke-16, para kaum borjuis Inggris dan Belanda menjadi kekuatan finansial dan politik yang berhasil menggulingkan tatanan feodal.
Masuk ke abad ke-17 dan 18, kaum borjuis adalah kelas sosial yang progresif mendukung prinsip-prinsip konstitusional, melawan hukum privilege dan klaim-klaim kekuasaan.
Kemudian pada abad ke-19, mereka mengemukakan liberalisme dan memperoleh hak politik, hak agama serta kebebasan sipil untuk diri mereka sendiri maupun kelas sosial yang lebih rendah.
Menurut Karl Marx, borjuis selama abad pertengahan memiliki peran ekonomi sebagai perantara keuangan antara tuan tanah feodal dan petani yang bekerja di ladang.
Namun, pada abad ke-19 yang bertepatan dengan revolusi dan kapitalisme industri. Hal ini mengubah kaum borjuis menjadi kelas penguasa ekonomi. Mereka memiliki alat-alat produksi, yaitu modal dan tanah, dan akhirnya mengendalikan hal tersebut untuk keuntungan sendiri.
Dalam teorinya, Marx membedakan dua jenis kapitalis borjuis:
- Kapitalis fungsional, yaitu orang-orang yang merupakan administrator bisnis alat-alat produksi.
- Kapitalis rentier, yaitu orang-orang yang mata pencahariannya berasal baik dari sewa properti atau pendapatan bunga.