Jakarta, FORTUNE – Krisis iklim memicu urgensi untuk menerapkan prinsip keberlanjutan pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi dan bisnis. Dalam hal ini, ESG, akronim untuk lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) merupakan kaidah dalam menerapkan prinsip keberlanjutan.
Menurut Komisi Brundtland, keberlanjutan merujuk pada pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Keberlanjutan memiliki tiga pilar atau komponen: ekonomi, lingkungan dan sosial. Dalam istilah yang lebih umum, itu bisa berarti keuntungan, planet, dan manusia. Dengan begitu, keberlanjutan adalah soal bagaimana mengupayakan kemakmuran dan kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi sembari melindungi bumi dan manusia pada tiga elemen inti tersebut, demikian laman Binus.
Pada tataran ideal, prinsip ESG adalah refleksi mini dari tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG’s). ESG meringkas 17 poin dalam rumusan SDG’s tersebut melalui tiga aspek.
Dengan dasar ESG ini, perusahaan mestinya menggulirkan inisiatif bisnis yang kelak akan berdampak positif bagi lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Dalam istilah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ESG merupakan kegiatan pembangunan, investasi, atau bisnis yang mengedepankan soal berkelanjutan berdasar atas tiga hal tersebut. Dalam arti lain, segala bentuk aktivitas maupun pengambilan keputusan perusahaan dapat menerapkan secara penuh prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola yang baik.