Jakarta, FORTUNE - Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, depresi dan kecemasan menyebabkan kehilangan produktivitas global lebih dari US$1 triliun per tahun, dengan perempuan dua kali lebih rentan terhadap gangguan tersebut.
Di Indonesia, kondisi serupa mulai menjadi perhatian serius. Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mencatat sekitar 15,5 juta remaja atau 34,9 persen populasi muda mengalami masalah kesehatan mental.
Tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, serta budaya kerja yang kompetitif membuat keseimbangan mental menjadi isu krusial, termasuk di industri kecantikan yang kerap menuntut performa tinggi dan citra sempurna.
Dari sisi konsumen, menurut survei NielsenIQ 2025, sebanyak 69 persen konsumen Indonesia menilai kesehatan emosional dan mental kini lebih penting dibanding lima tahun lalu. Namun hampir separuh masih kesulitan mengakses layanan profesional.
“Banyak orang tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja, tapi belum tentu mencari pertolongan profesional. Biaya, stigma, dan aksesibilitas masih jadi kendala utama,” ujar Karina Negara, psikolog sekaligus Co-Founder KALM, acara Beauty That Moves bertema Mental Health Matters dalam rangka Hari Kesehatan Mental Dunia, di Jakarta, Senin (13/10).
Karina menilai tekanan sosial di tempat kerja turut memperparah kondisi mental pekerja, terutama di sektor yang padat interaksi seperti industri kecantikan. “Ketika tekanan melebihi batas normal, itu bisa menghancurkan kesehatan mental,” ujarnya. “Tapi kalau sistem di luar diri kita kondusif dan suportif, individu pun bisa berdaya. Kadang HR sudah punya layanan, tapi pegawai tidak tahu. Lebih baik tanya dan gunakan fasilitas yang ada daripada menunggu sampai benar-benar tumbang," katanya, menambahkan.
Berdasarkan data KALM, perempuan Gen Z dan milenial banyak menghadapi kecemasan tentang masa depan dan hubungan keluarga. “Mereka ingin masa depan bisa dikendalikan, padahal ketidakpastian itu fakta. Dari situ muncul stres dan kecemasan. Sedangkan pada laki-laki, sumber stres terbesar masih seputar pekerjaan dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah," ujar Karina.