Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
20251013_144320.jpg
Diskusi "Beauty That Moves Mental Health Matters" di Jakarta, Senin (13/10).

Jakarta, FORTUNE - Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, depresi dan kecemasan menyebabkan kehilangan produktivitas global lebih dari US$1 triliun per tahun, dengan perempuan dua kali lebih rentan terhadap gangguan tersebut.

Di Indonesia, kondisi serupa mulai menjadi perhatian serius. Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mencatat sekitar 15,5 juta remaja atau 34,9 persen populasi muda mengalami masalah kesehatan mental.

Tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, serta budaya kerja yang kompetitif membuat keseimbangan mental menjadi isu krusial, termasuk di industri kecantikan yang kerap menuntut performa tinggi dan citra sempurna.

Dari sisi konsumen, menurut survei NielsenIQ 2025, sebanyak 69 persen konsumen Indonesia menilai kesehatan emosional dan mental kini lebih penting dibanding lima tahun lalu. Namun hampir separuh masih kesulitan mengakses layanan profesional.

“Banyak orang tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja, tapi belum tentu mencari pertolongan profesional. Biaya, stigma, dan aksesibilitas masih jadi kendala utama,” ujar Karina Negara, psikolog sekaligus Co-Founder KALM, acara Beauty That Moves bertema Mental Health Matters dalam rangka Hari Kesehatan Mental Dunia, di Jakarta, Senin (13/10).

Karina menilai tekanan sosial di tempat kerja turut memperparah kondisi mental pekerja, terutama di sektor yang padat interaksi seperti industri kecantikan. “Ketika tekanan melebihi batas normal, itu bisa menghancurkan kesehatan mental,” ujarnya. “Tapi kalau sistem di luar diri kita kondusif dan suportif, individu pun bisa berdaya. Kadang HR sudah punya layanan, tapi pegawai tidak tahu. Lebih baik tanya dan gunakan fasilitas yang ada daripada menunggu sampai benar-benar tumbang," katanya, menambahkan.

Berdasarkan data KALM, perempuan Gen Z dan milenial banyak menghadapi kecemasan tentang masa depan dan hubungan keluarga. “Mereka ingin masa depan bisa dikendalikan, padahal ketidakpastian itu fakta. Dari situ muncul stres dan kecemasan. Sedangkan pada laki-laki, sumber stres terbesar masih seputar pekerjaan dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah," ujar Karina.

Sinergi bisnis dan kesehatan mental diperlukan

L’Oréal melihat hubungan antara wellbeing dan performa bisnis sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. “Keinginan untuk looking good melalui produk kecantikan sangat berkaitan dengan kebutuhan untuk feeling good. Maka, kecantikan memiliki kekuatan untuk menenangkan, memberikan proteksi psikis, hingga mengekspresikan diri seseorang," ujar Melanie Masriel, Chief of Corporate Affairs, Engagement and Sustainability, L’Oréal Indonesia.

Dalam lingkungan kerja, L’Oréal menerapkan serangkaian kebijakan yang menempatkan kesejahteraan mental karyawan sebagai prioritas melalui berbagai program. Ada Share & Care, Recharge Week, Simplicity 2: Disconnection and Mindful Working, dan sebagainya.

“Setiap rapat dibatasi maksimal 45 menit, dan tidak ada rapat pada Senin pagi. Kami ingin karyawan punya waktu untuk fokus dan memulihkan energi,” jelas Melanie.

Selain internal, L’Oréal memperluas perhatian pada para mitra bisnisnya. Sekitar 65 persen penata rambut global dilaporkan mengalami kecemasan, kelelahan, atau depresi sepanjang karier mereka. Melalui program Head Up, L’Oréal memberikan pelatihan dan Head Up Notebook untuk membantu para hairdresser membangun ketangguhan mental.

“Hingga kini, lebih dari 2.300 hairdresser di Indonesia telah mengikuti pelatihan ini,” kata Indra Tanudarma, Head of Education Performance Professional Products Division L’Oréal Indonesia.

Bagi konsumen, inisiatif Maybelline Brave Together bekerja sama dengan KALM menjadi sarana untuk menghapus stigma seputar kecemasan dan depresi. “Melalui program Brave Together, kami menghadirkan sesi konseling rahasia serta pelatihan Brave Talk,” ujar Quincy Wongso, Senior Brand Community and Experience Manager Maybelline.

Sejak 2022, inisiatif ini telah menjangkau lebih dari 100.000 orang dan menyediakan 70.000 sesi konseling profesional.

Karina menegaskan, isu kesehatan mental bukan sekadar urusan moral, tapi juga bisnis. “Produktivitas sebuah perusahaan akan meningkat kalau kesehatan mental pegawainya juga baik. No other conclusion,” ujarnya.

“Kalau perusahaan pikir bisa produktif tanpa merawat kesehatan mental pegawai, itu bakal mentok. Jadi kalau mau cuan, investasikanlah cuanmu di merawat kesehatan mental pegawaimu," katanya, menegaskan.

Ia menambahkan, kerugian akibat burnout bisa jauh lebih mahal dibanding biaya pencegahan. “Lebih baik pegawai cuti secara teratur dan kembali dengan pikiran segar, daripada memaksakan diri lalu tumbang dan absen sebulan penuh. Produktivitasnya nol,” katanya.

Editorial Team