Jakarta, FORTUNE - Padi dikabek jo daunnyo, batang ditungkek jo dahannyo: Padi diikat dengan daunnya, batang/pohon ditopang dengan dahannya. Pepatah lawas ini menggambarkan ruh berdagang orang Minang yang lekat dengan kesabaran, keteguhan, dan pintar mengambil kebijakan yang akan membuat usaha tetap produktif. Itulah yang diterapkan Christine Hakim, perempuan kelahiran Padang terhadap usaha keripik balado yang dirintis sejak 1985.
Banyak yang mengira bahwa jenama kuliner Kripik Balado Christine Hakim ini milik aktris senior yang berkiprah di dunia film dan meraih sederet Piala Citra. Namanya memang sama, tapi nama Christine Hakim yang ini tersohor berkat panganan legendaris berbahan ubi kayu yang diiris tipis-tipis, digoreng hingga renyah, lalu dilapisi dengan bumbu balado pedas dan manis hingga menggoyang lidah penikmatnya.
Di sela-sela kesibukan mengurus toko oleh-oleh, kepada Fortune Indonesia, Christine Hakim berbagi kisah unik di balik namanya. Bukan terinspirasi dari sang aktris, pun tak ada niatan meniru. Perempuan kelahiran 1956 ini terlahir dengan nama Loei Tjeng Kim. “Loei artinya petir, Tjeng artinya seribu, dan Kim artinya emas. Dulu keluarga saya merantau ke Padang dari Cina,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (13/5/2024).
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 326/PWI Tahun 1983 yang mewajibkan warga keturunan Cina yang berada di Indonesia untuk mengganti nama. Pada 1990, ketika usianya 34 tahun, barulah namanya berganti menjadi Christine Hakim dan disahkan dengan Catatan Sipil Pemerintahan Kotamadya Dati II Padang pada tanggal 24 Maret 1990.
“Ndak ada niatan meniru nama artis. Waktu di pengadilan ditanya mau ganti nama apa. Saya dan orang tua belum tahu, pengadilan bilang sudah Christine Hakim saja. Kebetulan juga tahun kelahirannya sama,” kenangnya.
Nama itu justru membawa keberuntungan dalam usaha keripik balado. Christine mengenang awal mula perjalanan bisnisnya yang dirintisnya dari usaha kecil-kecilan pada 1985 bersama sang kakak.
"Orang tua saya mengajak kami semuanya bekerja. Karena sekolah saya tidak tamat SD, jadi sesuatu harus dilakukan. Melihat keripik balado yang dibuat orang di pondok, saya melihat potensi dengan risiko kecil. Kami mencoba membuatnya," ujar bungsu dari enam bersaudara ini.
Bersama kakaknya, Christine mulai memproduksi keripik balado. Ia mengambil peran sebagai pemasar utama. Keberanian untuk tampil dan mempromosikan produknya menjadi kunci pembuka jalan. Ia pun mulai berkeliling dengan mengendarai sepeda motor motor dan mengantarkan keripik ke pelanggan.
Berbekal resep keripik balado yang diwariskan keluarganya dan kepiawaian meracik bumbu, ia kemudian memulai usaha camilan dengan namanya sendiri. “Tahun 1990 saat usia 34 tahun, saya bertemu jodoh dan menikah. Sejak itulah saya mulai berdiri sendiri menggunakan merek Kripik Balado Christine Hakim,” katanya.
Dengan modal awal sebesar Rp150.000, ia membeli dua karung singkong, minyak, beserta bumbu lain seperti cabai merah dan gula pasir, lantas bisa menghasilkan 300 kilogram keripik. Keberaniannya tidak lepas dari keyakinan bahwa bahan baku yang kering dan tahan lama seperti singkong memberikan risiko yang kecil. "Enggak ada ruginya kok, karena bahannya yang kering. Mentahan. Artinya, masak hari ini, besok masih bisa dijual,” katanya.
Di awal usahanya ia dibantu dua anak dari kampung setempat untuk urusan dapur, lalu pelan-pelan bertambah dan mengelola toko kecil hingga kini memiliki lebih dari 100 karyawan.
Dalam perjalanan ia berimprovisasi untuk menemukan cara agar keripik balado bisa tahan disimpan dua bulan. Membuat produk yang sempurna membutuhkan proses yang panjang, bahkan hingga sepuluh tahun.
Jalan yang ditempuhnya tidak selalu mulus. "Selama sepuluh tahun, itu ada gagalnya. Saya mencoba terus baru dapat ukuran yang pas,” ujarnya. Maka, ia pun heran saat ada pengguna media sosial yang secara blak-blakan meminta resepnya, “Tidak bisa tanya begitu langsung jadi. Harus mencoba dulu.”
Menyoal bahan baku, ia hanya menggunakan singkong asli dari daerah Sumatra Barat, yang menurutnya, lebih gurih dan kering setelah digoreng. Demikian pula dengan penggunaan minyak kelapa yang masih dipertahankan hingga kini.
“Bahan lokal semua. Kita menghidupkan petani, pedagang pasar, penjual cabai, minyak, gula. Kami menghidupkan petani, menghidupkan semua, pedagang pasar, yang jual cabai, minyak, gula, asam, dan bahan lainnya,” ujarnya.