PT PLN (Persero) jadi salah satu perusahaan Indonesia yang cukup aktif memanfaatkan ajang COP26 untuk memperluas kerja sama dan mencari pendanaan proyek-proyek energi baru terbarukan (EBT).
Seperti telah disebut di awal, perusahaan setrum milik negara itu memperoleh komitmen dari Asian Development Bank (ADB) untuk mendukung transisi menuju energi hijau pada hari pertama rangkaian COP 26. Bentuknya adaah pendanaan hijau untuk membiayai proyek-proyek pembangkit untuk transisi ke energi bersih.
Namun, pendanaan hijau ini bukan yang pertama bagi PLN. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly mengatakan PLN telah lama membuka opasi dari berbagai instrumen antara lain green bonds atau obligasi hijau, social bonds serta sustainability bonds.
Pada 23 Desember 2020, perseroan telah berhasil menerbitkan green loan senilai US$500 juta untuk menyelesaikan dua proyek PLTA dan 5 proyek PLTP. Sebelum ADB menyatakan komitmennya, kepercayaan dalam penerbitan green loan ini bahkan dijamin oleh Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) Bank Dunia. Pendanaan hijau ini 95 persen dijamin oleh MIGA Bank Dunia dan berlangsung selama lima tahun.
"Bank Dunia mendukung PLN melalui program yang berjudul Non-Honouring of Financial Obligation oleh Badan Usaha Milik Negara (NHFO-BUMN)," ujar Sinthya.
Di samping itu, untuk mengembangkan layanan Renewable Energy Certificates (REC) yang telah diluncurkan perseroaan sejak November 2020, PLN juga mematangkan perluasan kerja sama dengan Clean Energy Investment Accelerator (CEIA).
Kerja sama ini ditandai dengan pertemuan antara Global Energy Director World Resources Institute (WRI), Jennifer Layke, selaku perwakilan CEIA dan Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Syofvi Roekman dalam ajang COP26.
Persamuhan kedua pihak tersebut sekaligus menegaskan kelanjutan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang sudah dilakukan pada 28 Oktober 2021 di Jakarta.
Syofvi menjelaskan, REC ini merupakan bukti kepemilikan sertifikat standar internasional atas produksi tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan. Dia mencontohkan, generasi pertama dari REC sebesar 140 Mega Watt (MW) yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, telah habis diserap 28 perusahaan. Bahkan, saat ini sudah ada 50 perusahaan mengantre untuk bisa membeli REC selanjutnya.
"Melihat respon dari pasar, tentunya PLN harus mempercepat pembangunan pembangkit EBT. Oleh karena itu, pada RUPTL 2021-2030 kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 20,923 Mega Watt (MW) pada 2030 untuk dapat memenuhi permintaan yang sudah masuk," papar Syovfi, saat mengisi acara 'Catalyzing Changes: Transitioning Indonesia's State-owned Utility toward Renewable Energy' di SDG7 Pavilion COP26, Selasa (2/10).
Melalui kerja sama ini juga akan dilakukan asistensi teknis untuk mengembangkan layanan-layanan inovatif, seperti green tariff sebagai salah satu opsi pengadaan energi terbarukan untuk korporasi atau peluang PLN untuk menjadi entitas lokal yang berhak menerbitkan REC sesuai standar yang telah ditetapkan dan diakui secara internasional.