Au percaya keberhasilan bisnis tidak semata mesti dikaitkan ke aset atau omzet. Baginya, pabrik atau mesin mungkin memiliki nilai materi yang dapat dihitung, tapi keberlanjutan dan keberhasilan bisnisnya bergantung pada karyawan. “Aset terbaik saya dan yang paling bernilai itu adalah karyawan. Mesin bisa dibeli, tapi yang namanya karyawan sulit [karena] harus dididik dulu. Banyak yang sudah lama ikut dengan saya," katanya.
Dia pun mengenang fase pengurangan banyak karyawan pada 2008 karena pemutakhiran dan modernisasi mesin. Jumlah pesangon yang dia keluarkan saat itu mencapai Rp130 miliar. Namun, ada dari sebagian karyawan yang diberhentikan itu kembali dikontrak.
Pada 2017, dia mengantarkan salah satu perusahaannya, PT Cahayasakti Investindo Sukses Tbk (CSIS), untuk melantai di pasar modal. Perusahaan ini bergerak dalam industri furnitur yang dibuat khusus dan desain interior untuk perusahaan, tempat duduk umum, lembaga pendidikan, kafe dan restoran, rumah sakit, dan sebagainya. Perusahaan kemudian memperluas bisnisnya ke bidang konstruksi umum dengan mengembangkan hotel dan kondotel di Sentul Utara.
“Saya melihat perusahaan ini cukup baik. Akhirnya saya coba go public saat perusahaan masih belum berkembang [karena] ingin tahu go public itu kayak apa. Sekarang dengan itu, saya jadi punya pengalaman. Tahun 2022, PT Puri Sentul Permai Tbk atau KDTN juga IPO,” katanya.
Dia mengaku hari-hari ini fokusnya masih berada pada seputar memenuhi permintaan furnitur dalam negeri dan pasar ekspor. “Olympic Group ekspornya meningkat. Khususnya dari pabrik yang di Surabaya. Ekspornya lebih baik daripada yang di lokal pada 2023,” ujarnya. Produk Olympic Group dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Australia, Jepang, negara Timur Tengah, hingga Afrika. Mulai 2019, pasar diperluas hingga ke Amerika Serikat. Targetnya setiap tahun porsi untuk pasar ekspor bisa meningkat hingga 25 persen.
Au menggambarkan, pada 2022 ke 2023 penjualan furnitur secara grup naik signifikan sekitar 30 persen. Momentum pandemi Covid-19 jadi lompatan, sebab banyak orang bekerja di rumah dan butuh mebel, selain pula permintaan dari mereka yang sedang merenovasi rumah, dan sebagainya. Momentum itu dimanfaatkan untuk tancap gas pada ranah digital. Aktivitas pemasaran digital digencarkan lewat berbagai platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, YouTube, hingga situs web. Beragam konten juga dibuat untuk meningkatkan brand awareness, hingga mengencangkan strategi online to offline dan sebaliknya. Untuk memahami ranah digital, dia juga terjun sendiri mempelajari bagaimana konten digital dibuat untuk menggaet konsumen.
“Dari segi digital, paling tidak saya harus bisa mengedit konten. Misal, target Januari saya kuasai satu tools, nanti belajar yang lain lagi. Paling tidak tahun ini tujuan pembelajaran digital saya sudah tercapai. Saya juga kuliah lagi di Universitas Indonesia. Untuk tetap relevan secara intelektualitas, kita harus punya target,” ujarnya.
Di marketplace, sofa dan matras, menurutnya, menjadi produk paling digemari konsumen. Dan dari sisi omzet, bisnis furnitur adiknya yang paling besar mendorong pendapatan grup dengan kisaran nilai di atas Rp3 triliun. “Dari anak perusahaan juga ada. Totalnya kisaran Rp6 triliun–Rp7 triliun per tahun. [Itu] belum di propertinya. Itu secara grup keseluruhan,” katanya
Di atas itu semua, berbagai pencapaian tidak membuatnya berpuas diri. Baginya, semua prestasi takkan bisa diraih tanpa kesehatan dan performa fisik mumpuni. “Kalau fisik kita siap, fisik kita sehat, kita lebih cerdas, lebih berani mengambil keputusan, lebih semangat. Tapi kalau kita fisik kita enggak kuat, enggak bisa apa-apa. Kesehatan adalah segala-galanya,” ujarnya.
Menjalani usia senja, dia mengatakan semangatnya masih menyala. Dia terus melatih fisiknya dengan berolahraga di home gym, mengayunkan stik golf, hingga karate. Menurut Au, semua aktivitas itu ditujukan untuk memperkuat otot dan mempertahankan kepadatan tulang, sehingga terhindar dari osteoporosis. Dia juga melakukan itu untuk tetap awet muda agar dapat melihat bendera dan ruh Olympic terus berkibar, meskipun nantinya akan berganti nama. Baginya Olympic Furniture bukan sekadar merek, tetapi juga jejak perjalanan panjang dan sumber inspirasi.
"Nama Olympic lahir tahun ‘82. Saya kepusingan mencari merek. Karena waktu itu ada momen olimpiade, akhirnya saya pakai nama olimpiade saja biar mudah diingat dan dipromosikan," katanya.
Problemnya, dia mendapat teguran dari Komite Olimpiade Internasional. Nama itu harus diganti menjelang pemilihan tuan rumah Olimpiade 2030. Namun, meskipun nama ikonik itu akan hilang, ujarnya, produk dan warisan Olympic Furniture akan tetap ada dengan mengadopsi nama-nama baru, seperti Olymplast dan Prosela.
“Yang penting saya harus mempertahankan 100 tahun lagi bisnis ini akan tetap ada, [dan] saya juga akan tetap kerja. Ada keinginan punya pabrik furnitur yang di dalamnya semua serba otomatis, semua serba canggih dengan robot. Bukan untuk keuntungan, tapi untuk pembelajaran bagi industri,” ujarnya.