Jakarta, FORTUNE - Sejumlah pengusaha mendulang untung di tengah krisis energi yang mendera Eropa. Mereka adalah produsen gas dan pengelola pembangkit puncak (peaker) yang mengirimkan energi ke sistem kelistrikan di tengah lonjakan permintaan.
Pembangkit puncak, yang menyangga kenaikan beban listrik di Eropa itu, memang cukup fleksibel dan dapat dinyalakan dengan sekali tekan. Mereka memanfaatkan bahan bakar gas pada pembangkit skala kecil dan menghasilkan listrik dengan harga tinggi.
Kini, pembangkit yang biasanya hanya dinyalakan sesekali itu bisa dihidupkan setiap hari dan hampir 24 jam—membuat para pemiliknya seperti ketiban durian runtuh.
“Jika Anda menggambarkan skenario yang kita hadapi sekarang, seseorang akan menyebutnya sebagai peristiwa 10 tahun. Sekarang kenyataannya adalah itu terjadi tiga kali dalam sebulan terakhir,” kata Matt Clare, pendiri Arlington Energy, pengembang dan manajer aset transisi energi termasuk peaker, seperti dikutip Fortune.com.
Sebagai catatan, lonjakan permintaan listrik setelah berakhirnya karantina wilayah sulit dipenuhi oleh sistem pembangkit Eropa yang kian bergantung pada energi terbarukan. PLTS, contohnya, hanya bisa optimal saat siang hari. Sementara PLTB bergantung pada energi angin yang kadang enggan bertiup.
Krisis listrik di Benua Biru itu pun berimbas pada kenaikan harga gas alam serta tarif listrik hampir tiap hari. Kemarin (5/10), kontrak gas alam di pasar Belanda kembali meroket mencapai €107 per megawatt hour (MWh)—level tertinggi yang tak pernah terjadi sebelumnya.