Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah lebih memperhatikan nasib petani sawit. Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dinilai belum terimplentasi dengan baik dan menunjukkan keberpihakan serta keadilan terhadap pekerja di sektor ini.
Hal ini berhubungan dengan penyelesaian konflik hutan sawit dan penegakan regulasi oleh aparat hukum. Legatitas lahan sawit merupakan hal mendasar yang menjadi faktor penting bagi petani maupun kebutuhan investasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, menyampaikan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP No.24/2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Penyelenggaraan Kehutanan, kelapa sawit yang ditanam sebelum berlakunya UU Cipta Kerja tidak ada pidana. Dalam hal ini berlaku Ultimum Remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
“Namun di lapangan, ternyata aparat penegak hukum masih banyak melakukan pemanggilan dan sidang di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, dan menyatakan bahwa petani sawit dalam kawasan adalah ilegal. Dan lahan petani tersebut harus dicabut, ditumbangkan, dan para petani diusir,” kata Rino dalam konferensi pers Apkasindo, Kamis (30/12).
Padahal, menurut Rino, UU ini sudah mengatur solusi bagi perkebunan kelapa sawit yang terlanjur diklaim sebagai kawasan hutan, melalui 4 tipologi resolusi. Oleh karena itu, persoalan ini akan terus dikritisi Apkasindo kepada pemerintah sebagai regulator.