Data dari Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) menunjukkan produksi kendaraan per 2025 turun menjadi 957.293 unit dari 996.741 unit pada 2024.
Penurunan tahun ini paling tajam dirasakan pada segmen yang selama ini menjadi tulang punggung industri domestik: segmen entry-level turun 40 persen, segmen low turun 36 persen, dan kendaraan komersial anjlok 23 persen. Kondisi ini berpotensi menekan utilisasi pabrik serta menghambat investasi di industri komponen.
Agus menjelaskan bahwa industri otomotif memiliki keterkaitan yang kuat baik ke belakang maupun ke depan dalam rantai pasok, sehingga kontraksi penjualan dapat menimbulkan efek domino pada industri pendukung dan sektor turunan lainnya. Karena itu, ia menilai insentif atau stimulus menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah pelemahan yang lebih dalam.
Kemenperin menekankan bahwa tolok ukur paling dasar bagi kesehatan industri otomotif adalah pergerakan penjualan kendaraan di pasar, bukan semata pertumbuhan pada segmen tertentu atau besarannya investasi.
Menurutnya, pelemahan permintaan yang berlangsung bersamaan bisa menekan tingkat pemanfaatan pabrik, menahan arus investasi, dan bahkan memicu risiko terhadap lapangan kerja di sektor perakitan maupun komponen. Ia menambahkan, rancangan insentif harus mampu menjawab tantangan dari sisi permintaan (demand) sekaligus penawaran (supply). Meski berbagai usulan sebelumnya belum menghasilkan keputusan, Agus menegaskan bahwa pemerintah tetap akan memperjuangkannya.
“Ini tanggung jawab kami. Salah kalau tidak diperjuangkan. Doakan saja, kami berjuang agar sektor otomotif bisa bangkit,” ujarnya, seraya menyatakan tim Kemenperin sedang merumuskan skema insentif yang relevan. “Kami siapkan insentif yang bisa menjawab dari sisi demand dan supply. Semoga pada pertemuan berikutnya semuanya bisa tersenyum,” tambahnya.