Perjanjian Dagang Indonesia-Bangladesh Ancam IKM Tekstil Dalam Negeri

Jakarta, FORTUNE - Industri kecil menengah (IKM) tekstil merasa terancam oleh persetujuan perjanjian dagang Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement (IB-PTA).
Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Nandi Herdiaman, mengatakan pengusaha tengah menikmati buahnya di pasar domestik setelah sejumlah kebijakan diberlakukan. Perjanjian dagang dengan Bangladesh, jika tidak dirundingkan dengan hati-hati, dikhawatirkan merusak pasar dalam negeri yang menjadi tumpuan pemulihan tekstil dan produk tekstil tahun ini.
Sebab, kondisi IKM konveksi sekarang masih belum pulih pasca-pembatasan mobilitas masyarakat akibat Covid-19. “Kalau impor garmen masuk lagi, tentu ini jadi berat buat IKM. Masyarakat akan lebih memilih produk impor yang murah dibandingkan produk IKM. Bisa-bisa tutup satu per satu lagi seperti di awal pandemi yang lalu,” ujarnya dalam pernyataannya, Jumat (4/3).
Ada efek berantai
Pada saat bersamaan, Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Riza Muhidin, menyatakan fenomena kebanjiran pesanan IKM terjadi karena pengesahan sejumlah trade remedies, salah satunya usaha perlindungan pakaian jadi.
“Safeguard pakaian jadi ini perlu dioptimalkan. Dalam safeguard juga Bangladesh dikecualikan sehingga ancaman barang impor murah ini jadi hal yang pasti terjadi jika IB-PTA disahkan,” kata Riza.
Dia menambahkan bahwa efek disahkannya IB-PTA ini akan berdampak bagi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hulu dan hilir tekstil di dalam negeri. Padahal, industri ini telah menargetkan adanya investasi baru.
“Efek domino IB-PTA ini tidak hanya dirasakan oleh produsen garmen saja. Tapi, industri serat, benang dan kain juga akan kena imbasnya. Rasanya percuma kalau target investasi TPT tahun ini beriringan dengan pengesahan IB-PTA,” ujarnya.
Riza berharap iklim usaha yang kondusif dan berdaya saing sekarang dapat dijaga. Dia menambahkan, masih banyak tantangan industri TPT yang belum terselesaikan.
“Masih banyak tantangan yang masih belum selesai hingga sekarang seperti mahalnya kontainer, kenaikan harga energi, dan importasi tekstil ilegal. Harusnya pemerintah lebih menitikberatkan hal-hal krusial dibandingkan perjanjian dagang yang kurang menguntungkan bagi Indonesia,” katanya.