Jakarta, FORTUNE - Dulu, meluncur di perosotan raksasa atau teriak di trampolin hanya milik dunia anak-anak. Kini, pemandangan orang dewasa berkeringat sambil bermain flying fox atau wall climbing jadi hal lumrah di mal-mal besar. Fenomena “kidult” ini bukan cuma soal nostalgia, tapi juga pasar hiburan bernilai miliaran yang sedang diperebutkan banyak pemain.
Lisa Yuliana (32) tak bisa menyembunyikan tawa lepas saat tubuhnya meluncur dari perosotan raksasa di SuperPark Indonesia, Pondok Indah. Sensasi adrenalin yang muncul membawanya kembali ke masa kecil. “Rasanya seperti recharge energi. Bisa main sepuasnya, teriak-teriak lepas, tanpa mikirin kerjaan,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (22/2). Sejak pertama kali datang bersama kantor, ia rutin menyisihkan lebih dari Rp500.000 per bulan untuk bermain, baik dengan rekan kerja maupun keluarga.
Pengalaman serupa dialami Rina Ambarwati (59), guru ASN yang awalnya hanya berniat menemani anak bermain di Playtopia Adventure. Godaan mencoba wahana seperti flying fox, wall climbing, hingga permainan ketinggian membuatnya puas. “Alhamdulillah, enggak ada yang susah, cuma deg-degan aja. Sedikit banyak memenuhi inner child saya juga,” tuturnya.
Fenomena ini dikenal dengan istilah “kidult” — orang dewasa yang tetap menikmati aktivitas masa kecil. Andrew Calcutt dalam Arrested Development: Pop Culture and Erosion of Adulthood menyebut kidult sebagai individu dewasa berstatus sosial tinggi yang masih menggemari aktivitas anak-anak. Tren ini kian berkembang sejak pandemi COVID-19, ketika nostalgia menjadi sumber kebahagiaan baru.
Ketua Umum Asosiasi Rekreasi Keluarga Indonesia (ARKI), Taufik A. Wumu, mencatat pertumbuhan playground sebesar 30–35 persen pascapandemi. Ada tiga pendorong utama: pembukaan 25–30 mal baru yang menyediakan area bermain indoor, peralihan ruang bekas toko besar menjadi playground, serta tarif pajak hiburan yang lebih pasti dan rendah untuk wahana rekreasi—maksimal 10 persen sesuai UU HKPD, dibanding pajak 40–75 persen untuk diskotek atau spa.
Industri ini juga berevolusi menjadi one-stop entertainment dengan restoran, merchandise, kolaborasi lintas industri, hingga sportainment. Ekosistem rekreasi pun makin dinamis dan inklusif lintas usia. Menurut data The Business Research Company, nilai pasar pusat hiburan keluarga dan indoor global pada 2024 mencapai US$35,24 miliar dan diproyeksikan tumbuh 14,2 persen per tahun.
Di Indonesia, pelaku bisnis berlomba menggarap ceruk baru ini. KidZania Jakarta, yang awalnya hanya menyasar usia 4–12 tahun, sejak 2021 meluncurkan program TeenZania untuk usia 16–25 tahun. “Ternyata yang di atas 19 tahun merasa iri. Mereka kirim pesan di media sosial. Akhirnya kami jadikan peluang serius,” kata Faizal Reza, Direktur PT Aryan Indonesia. Hasilnya, pengunjung dewasa kini menyumbang hampir sepertiga dari 1.200 pengunjung harian.
Tantangan terbesar dalam mengembangkan konsep playground berskala besar yang juga mengakomodasi pengunjung dewasa adalah keterbatasan ruang. KidZania Jakarta pun mempertimbangkan aspek ini dalam ekspansinya. Terutama, ketika melibatkan elemen-elemen atraktif seperti pesawat asli di KidZania Jakarta yang harus diangkut dan dipasang di dalam area bermain. Reza menjelaskan bahwa KidZania Jakarta dibangun bersamaan dengan proses pembangunan Pacific Place Mall.
“Kalau malnya sudah jadi, bagaimana cara memasukkan badan pesawat? Jadi kami beli pesawat asli, lalu dipotong dan diangkut menggunakan crane saat bangunan masih terbuka,” ujarnya.
Tak ingin tertinggal, Playtopia juga meluncurkan Playtopia Adventure pada November 2023, menyasar semua usia di berbagai kota. “Prinsipnya, semua umur punya hak untuk bermain dan bersenang-senang,” ujar Co-founder Playtopia, Karina Yenadia Winato.
Sementara Timezone, di bawah The Entertainment and Education Group (TEEG), menambah permainan untuk orang dewasa seperti social bowling, VR, bumper cars, dan laser tag. “Iklan kami disegmentasikan ke dalam beberapa kategori minat, sehingga efektif menjangkau kelompok kidult,” ujar CEO TEEG Indonesia, Naveen H.
Pemain baru seperti SuperPark asal Finlandia juga melihat potensi Indonesia. “Melihat potensi pasar yang dinamis, ekspansi kami bertujuan memperkenalkan konsep playground yang menarik bagi berbagai kelompok usia,” kata Jeffrey Tan, Presiden Direktur DreamUs International. Tantangannya, konsep adult playground masih niche di Indonesia, sehingga mereka gencar edukasi pasar dan menawarkan wahana berbasis teknologi seperti trampolin AR dan sepeda interaktif.
Meski tantangan seperti keterbatasan ruang dan harga tiket premium membayangi, peluangnya kian besar. Taufik memprediksi dalam lima tahun ke depan, industri playground Indonesia akan semakin pesat dengan integrasi teknologi seperti VR. “Di Asia, perkembangan playground di Indonesia luar biasa pesat,” ujarnya. Fenomena kidult membuktikan satu hal: bermain tak mengenal usia, dan bagi industri, ini adalah ladang bisnis yang terus bertumbuh.