Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
20250507_141811.jpg
Konferensi pers pameran industri logistik rantai dingin, Rabu (7/5).

Jakarta, FORTUNE - Prospek cerah membayangi industri logistik rantai dingin (cold chain logistics/CCL) di Indonesia, yang diproyeksikan melonjak hingga bernilai US$5,2 miliar pada 2030. Namun, laju pertumbuhan ini masih dibayangi sejumlah tantangan signifikan, mulai dari stabilitas pasokan energi hingga isu regulasi. Upaya kolektif untuk menjawab hambatan ini sedang disuarakan dalam pameran industri yang tengah berlangsung di Jakarta.

Pertumbuhan potensial industri CCL didorong oleh beberapa faktor utama. Berdasarkan data Motor Intelligence, pasar ini dapat mencatat tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) 10 persen pada rentang 2024 hingga 2030. Motor penggeraknya termasuk pesatnya perkembangan sektor e-commerce, adopsi teknologi digital yang kian luas, dan ekspansi signifikan industri makanan olahan.

Faktor terakhir tersebut berkaitan erat dengan peningkatan konsumsi produk makanan-minuman serta kebutuhan penyimpanan dan distribusi produk makanan olahan seperti makanan beku, boga bahari (ikan, udang, dan sejenisnya), serta daging.

Di negara kepulauan seperti Indonesia, sistem rantai dingin mutlak diperlukan demi menjaga kualitas dan mutu produk, terutama komoditas perikanan yang didistribusikan dari sentra produksi di wilayah timur ke pasar di barat. Direktur Pemasaran Ditjen PDPSPKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, Erwin Dwijana, menekankan pentingnya peran CCL dalam konektivitas rantai pasok.

"Di negara kepulauan seperti Indonesia, sistem rantai dingin akan selalu diperlukan untuk menjaga mutu," kata Erwin di JIEXPO Kemayoran, Rabu (7/5). Ia menambahkan, sistem ini penting karena menghubungkan"Indonesia bagian timur, sentra penangkapan, lalu dibawa ke [wilayah Indonesia] barat [demi dijual ke industri ataupun masyarakat]."

Meski potensi pertumbuhan terbuka lebar, sejumlah tantangan struktural masih menghadang industri CCL. Salah satu kendala utama adalah kestabilan pasokan listrik di wilayah tertentu, terutama di luar Jawa, seperti Indonesia bagian timur dan Kalimantan. Kepala Bidang Logistik Cold Chain Perkumpulan Pelaku Logistik Indonesia (PPLI), Tejo Mulyono, menjelaskan dampak langsung dari isu pasokan daya ini.

Ia menyebut kontainer pendingin standar membutuhkan rata-rata 380 volt untuk beroperasi optimal. Namun, di beberapa area pasokan listrik kurang stabil, kualitas daya bisa turun hingga 320-340 volt. Kondisi ini menjadi lebih kritis saat kontainer dimuat di kapal pengangkut, yang kebutuhannya bisa mencapai 450 volt.

"Nah, ini kontainernya panas-dingin jadinya [jika pasokan listrik tidak stabil]," kata Tejo.

Selain isu infrastruktur energi, industri ini juga menghadapi tantangan dari sisi regulasi dan teknologi yang terus berkembang.

Menyikapi berbagai tantangan tersebut, para pemangku kepentingan pada industri logistik rantai dingin berupaya mendorong inovasi dan kolaborasi. PPLI bersama PT Wahana Kemalaniaga Makmur (WAKENI), sebagai penyelenggara pameran, menggandeng sejumlah perguruan tinggi serta melibatkan 300 pelaku industri dari 10 negara – termasuk Indonesia, Cina, Swedia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, India, dan Korea Selatan – dalam sebuah pameran terintegrasi.

Pameran ini mencakup empat sub-industri terkait, yaitu International Indonesia Seafood & Meat (IISM) Expo, Indonesia Cold Chain Expo, Warehousing & Storage Handling Expo, dan Indonesia Smart Logistics & Supply Chain Expo. Rangkaian pameran berlangsung mulai 7 hingga 10 Mei 2025 di JiExpo Kemayoran, Jakarta. WAKENI menargetkan kehadiran sekitar 30.000 pengunjung profesional dalam gelaran ini.

Direktur WAKENI, Sofianto Widjaja, melihat pameran ini sebagai momentum penting bagi transformasi industri.

"Ini langkah strategis dan ajakan kolektif bagi pelaku usaha untuk bertransformasi bersama khususnya dalam proses bisnis yang terkait dengan proses penyimpanan dan pendistribusian produk pangan serta barang mudah rusak, baik di Indonesia maupun di pasar global,” kata Sofianto.

Editorial Team