Jakarta, FORTUNE - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan potensi penerimaan yang hilang akibat kebijakan "puasa" pungutan ekspor CPO hingga akhir Agustus mencapai Rp9 triliun.
Perkirakan tersebut didasarkan pada proyeksi hilangnya penerimaan negara Ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor CPO dan turunannya untuk menjaga pasokan dalam negeri di bulan lalu.
Saat itu, kata dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani menaksir bahwa hilangnya penerimaan negara akibat kebijakan restriktif terhadap ekspor sawit mencapai Rp6 triliun dalam sebulan. "Sehingga jika dikalkulasi, total potensi penerimaan yang hilang bisa sampai Rp9 triliun," ujarnya saat dihubungi Fortune Indonesia, Selasa (19/7).
Di sisi lain, menurut Huda, kebijakan puasa pungutan ekspor tersebut juga belum tentu efektif mengerek harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani. Pasalnya, keuntungan terbesar dari ekspor CPO justru berada di eksportir bukan petani.
Terlebih, saat ini, penentu harga komoditas sawit global bukan lagi Indonesia melainkan Malaysia. "Dari awal sebenarnya kan permintaan ini juga sebenarnya dari pengusaha. Sehingga kalau pun kebijakan ini dikeluarkan, yang mendapat dampak positifnya bukan petani," tuturnya.
Meski demikian, kata Huda, potensi peningkatan devisa dari kebijakan tersebut tetap besar. Pasalnya peniadaan tarif akan membuat volume ekspor CPO dan turunannya menjadi lebih besar dari bulan-bulan sebelumnya. "Kalau ke devisa mungkin dampaknya akan lebih positif," jelas Huda.