Jakarta, FORTUNE - PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) merupakan perusahaan penting di balik pengembangan sejumlah kawasan ternama, seperti Mega Kuningan dan Glodok.
Di bawah kepemimpinan Johannes Suriadjaja, kini perseroan berkolaborasi dengan raksasa otomotif asal Cina, BYD. Tak hanya itu, SSIA pun mengembangkan kawasan ekonomi khusus (KEK), Subang Smartpolitan.
Fortune Indonesia bertemu dengan Johannes pada September 2024 dan berbincang kurang lebih satu jam lamanya. Ia pun mengisahkan tantangan yang harus dihadapi sepanjang perjalanannya mengawal SSIA. Berikut ini rangkuman obrolan kami dengan pria yang akrab disapa Johnny tersebut.
Bagaimana awal mula Surya Semesta Internusa didirikan? Sejak awal dibentuk, apa memang fokusnya ingin ke bidang properti?
Jawab: Iya, jadi pendiri-pendirinya mayoritas dari Astra. Memang bagian dari Grup Astra, pendirinya Pak William Soeryadjaya, Pak Benjamin Arman Suriadjaya, lalu dengan eksekutif Astra saat itu. Awalnya itu perusahaan investasi. Ada ke perkebunan, autoparts, properti, macam-macam. Multibidang saat itu. Jadi yang berkaitan dengan bisnis Astra sebenarnya. Umumnya kalau di Amerika itu perusahaannyas eperti Berkshire Hathaway milik Warren Buffett.
Tapi ada beberapa [proyek] utama. Salah satunya, saat itu Astra diminta untuk bantu mengembangkan area Kuningan oleh pemerintah, dulunya kan dipegang oleh [perusahaan] Ibnu Sutowo dan Jan Darmadi [PT Town & City Properties atau TCP]. Kami diminta membantu Astra waktu itu. nah, masuk lah ke perusahaan investasi ini. Itu [kami] mengambil alih saham dari Pak Ibnu Sutowo dan Jan Darmadi, waktu itu konsesi untuk dibangun area Kuningan ini. Jadi, itu salah satu awalnya mengapa kami masuk ke bisnis properti. Dari situ mereka bangun Glodok Plaza ya, itu pusat perbelanjaan yang paling modern lah di Jakarta pada sekitar 1973-an.
Jadi kami salah satu perusahaan kontraktor yang membangun ini, Jalan Rasuna Said, yang bertahan sampai hari ini loh. Boleh dibanggakan.
Untuk pembangunan area Kuningan itu, SSIA berkontribusi membangun dari awal sekali? Berapa investasinya saat itu? Saat SSIA berperan dalam proyek itu, berapa usia Bapak?
Jawab: Iya dong. Dulunya kan masih rawa [area Kuningan ini]. Oh saya sudah lupa [tepatnya] untuk investasinya. Saya waktu itu masih kecil loh, pas umur 8 tahun. Masih Sekolah Dasar (SD). [Tapi] dari kecil, umur 7-8 tahun, kita semua suka diajak setiap Sabtu atau Minggu gitu ya, sekalian jalan-jalan keluarga. Saat keliling-keliling itu, diberi tahu kita mengenai proyek-proyek itu. Diceritakan satu per satu. makanya saya masih ingat juga. Senang waktu itu kita ke Glodok juga, waktu itu banyak melihat acara-acara hiburan, kan untuk promosi waktu itu. Waktu kecil masih senang saja kan, makan, melihat acara seperti sulap, macam-macam.
Sejak kapan Bapak mulai terlibat bekerja di perusahaan ini? Bagaimana awal mulanya? Apa sejak awal Bapak sudah berencana untuk bergabung dengan bisnis keluarga ini?
Jawab: Saya waktu itu pada 1992. Awalnya, itu sebenarnya ceritanya juga tidak mudah ya. Jadi saya sebelumnya kan bekerja di Chase Manhattan Bank. Saya selesai kuliah pokoknya itu dari Amerika pada 1979. Saya sudah ke Amerika waktu itu sejak SMP. Jadi saya sekolah SMP sampai kuliah di Amerika. Baru kembali pada 1989. Lalu awal 1990 saya bekerja sebagai Assistant Manager Corporate Banking Chase Manhattan Bank di Jakarta.
Lalu pada saat itu kan, sekitar 1990-an, pemegang sahamnya Astra mengalami masalah dengan Bank Summa, jadi collapse. Oleh sebab itu, chaos lah saat kejadian. Saya waktu itu diminta oleh keluarga untuk membantu. Jadi, sisa-sisa aset dari yang bisa diselamatkan istilahnya, dari krisis tersebut. Jadi kami sudah mengalami krisis tuh sejak 1992.
Awalnya saya berpikir mau bekerja di bidang profesional. Sebenarnya saya tidak ada pemikiran untuk bekerja dengan keluarga. Bahkan dari masih sekolah selalu saya bilang, tidak mau, mau jadi profesional. Makanya saya kerja di bank dulu. Kemudian waktu dimintai tolong, memang kondisi sedang sulit [di bisnis keluarga], jadi mau tidak mau saya mesti bantu.
Saat itu, yang meminta tolong ke Bapak secara personal dari paman atau dari ayah Bapak? Bagaimana Bapak menanggapi permintaan tersebut saat itu? Apa hanya Bapak sendiri atau ada tim khusus yang disiapkan untuk mengatasi tantangan itu?
Jawab: Pertama dari ayah saya. Itu saya masih tidak mau. Baru kemudian Ibu, kakak, dan adik saya. Satu keluarga. Saya ini empat bersaudara, saya nomor tiga, anak laki satu-satunya. Kakak dan adik saya kan tidak ada yang bekerja. Di situlah saya diminta, harus bantu, ini. Kalau tidak, sudah tidak sanggup, begitu, dari keluarga.
Awalnya saya masih tak terlalu mau. Sudah begitu, bos saya di bank waktu itu bilang, saya akan dikirim [dipromosikan] ke New York. Jadi, dia pun merasa, 'kamu tidak sayang ini kerja di perusahaan keluarga?', yang dia tahu, saat itu sedang menghadapi tantangan. Sementara saya punya karier, dia ingin membantu meningkatkannya. Jadi bos saya menyayangkan. Tapi, kan, dipikir-pikir, saya harus membela karier atau keluarga? Ya, akhirnya membela keluarga.
Akhirnya, ya sudah, saya keluar dari bank itu pada akhir 1991. Pada 1992, asya bergabung ke perusahaan. Saat itu ada timnya juga. Perusahaannya kan ada orang-orangnya sendiri. Jadi saya mulai dari bawah di situ. Kebetulan ada pengalaman di bank, ini yang paling saya banyak belajar juga. Jadi mengerti [harus apa]. Waktu itu saya baru 29 tahun. Njelimet itu [situasinya].
Bagaimana Bapak menghadapi situasi itu? Bagaimana rasanya saat itu?
Jawab: Jadi awal-awal pun, saya sudah berhadapan dengan orang-orang yang jauh di atas saya. Baik secara umur maupun jabatan dan pengalaman. Misalnya direktur-direktur bank, pengusaha-pengusaha, itu saya sudah bertemu mereka. Karena ayah saya orangnya tidak mau berhubungan dengan mereka. Jadi saya semua yang harus menjalani itu. Senior-senior sekali lah orang-orang yang saya temui tersebut. Ada satu waktu saya mesti deal dengan tim likuiditas Bank Summa, dengan perbankan pelat merah, swasta. Wah, itu berat. Saya masih kecil, kalau dilihat kan orang berpikirnya, 'Kamu 29 tahun mengerti apa?' begitu kan.
Tapi kami bersifat profesional dengan mereka. Mereka impressed akhirnya. Kebetulan setelah krisis itu selesai mereka salut ya istilahnya, ini anak muda belum terkenal dan dikenal di mana-mana, kok bisa menyelesaikan masalah-masalah rumit, begitu kan. Waktu itu tim likuiditas loh, itu kan dinaungi pemerintah langsung. Urusan saya dengan pengacara, macam-macam. Jadi struggling. Saya menemui mereka sendiri, maju di depan.
Stres rasanya. Tapi, untuk meyakini, kami tetap bersikap profesional saja. Makanya sampai hari ini kan saya juga masih berpegang pada profesionalitas gitu. Tidak bisa sewenang-wenang. Di situ saya belajar juga bagaimana berhubungan dengan orang-orang yang lebih berpengalaman.
Dari situ saya justru dapat kesepakatan kerja sama dari mereka, masih berhubungan, jadi teman baik, kenal sama keluarganya, dan lain-lain. Jadi itulah, saya berpikir, yang terpenting, yang selalu saya utarakan di grup ini juga sampai hari ini, adalah integritas dan kejujuran. Penting sekali itu. Jadi modal utama bukan uang, melainkan kepercayaan dan kejujuran. Bagaimana orang bisa percaya sama kita sampai mereka setuju dengan cara kita menyelesaikan sesuatu, bagaimana cara kita membereskan masalah itu.
Waktu itu ya, kalau kamu mau tahu, saya cerita lagi sedikit untuk anak-anak muda. Itu saya ke bank, mau pinjam uang ke bank. Saya dari bank loh [latar kariernya], mereka tahu kan. Tapi waktu saya telepon mereka, mau ketemu, teman-teman lama waktu itu, tidak ada yang mau bertemu. Jangan salah. Mengapa? Belakangan ini, saya baru tanya sama mereka, 'kenapa waktu saya sedang mengalami kesulitan, tidak ada yang mau berhubungan dengan saya?'. Mereka mengatakan, takut saya meminjam uang mereka. Sampai seperti itu persepsi mereka. Karena keluarga kami hancur ya waktu itu. Berantakan, kacau sekali. Jadi, mereka tak mau bertemu. Bayangkan itu, kesulitan pendanaannya.
Setelah restrukturisasi utang, bagaimana akhirnya Bapak meraih kepercayaan lagi dari perbankan?
Jawab: Pada 1994, saya mulai dapat kepercayaan dari bank. Waktu itu Bank Bank Internasional Indonesia (BII) milik Grup Sinar Mas. Karena apa? Teman-teman saya, alumni dari Chase Manhattan Bank, itu mengerti saya kan. Tahu saya siapa, bagaimana saya orangnya, benar, jujur, segala macam. Mereka ya, saya masih ingat, mereka yang pertama kali kasih pinjam. Tidak tanggung-tanggung, waktu itu sebesar US$44 juta. Itu karena kepercayaan mereka dengan saya. Karena mereka sudah mengenal saya. Itu pertama kali kami dapat kepercayaan dari mereka. Tapi, dua tahun sebelumnya, tidak ada. Bertemu saja tidak mau, teman-teman semua menghilang. Waktu dapat pinjaman BII itu, saya ingat kami mau bangun Gran Melia ini.