Starbucks Tinjau Restrukturisasi Bisnis di Cina, Buka Opsi Jual Saham

Intinya sih...
Starbucks meninjau strategi bisnis di Cina dan membuka opsi penjualan saham.
Cina adalah pasar terbesar bagi Starbucks dengan lebih dari 7.750 gerai, tetapi laba bersihnya masih di bawah kompetitor lokal.
Tekanan tarif Trump berdampak pada peritel makanan minuman, termasuk McDonald's yang mencatat penurunan penjualan global kuartalan.
Jakarta, FORTUNE — Jenama ritel kopi, Starbucks dikabarkan tengah meninjau ulang strategi bisnisnya di Cina dan menjajaki kemungkinan restrukturisasi besar, termasuk opsi penjualan saham. Langkah ini ditempuh di tengah tekanan ekonomi makro dan meningkatnya persaingan dari pemain lokal seperti Luckin Coffee dan Cotti Coffee.
Dilansir dari Bloomberg, sumber yang mengetahui masalah ini mengatakan Starbucks telah menghubungi sejumlah perusahaan ekuitas swasta, perusahaan teknologi, dan calon investor lainnya. Mereka mengirimkan surat melalui penasihat keuangan untuk mengumpulkan masukan mengenai prospek bisnis dan strategi ekspansi di pasar Cina. Nilai transaksi potensial disebut bisa mencapai miliaran dolar AS.
Cina merupakan salah satu pasar terbesar bagi Starbucks. Perusahaan tersebut mengoperasikan lebih dari 7.750 gerai di Tiongkok per Maret 2025. Pada kuartal yang sama, Starbucks menghasilkan laba bersih sekitar US$740 juta, sedikit dibawah kompetitornya yakni Luckin yang mencatat laba US$1,2 miliar.
Meski sedang menjajaki berbagai opsi, sumber menyebut Starbucks bisa saja memutuskan untuk tidak melanjutkan transaksi apa pun. Para calon pembeli diharapkan bisa memberikan feedback pada pekan depan. Adapun, dari pihak Starbucks belum memberikan tanggapan apapun.
CEO Starbucks, Brian Niccol, sebelumnya menyatakan bahwa perusahaan tetap berkomitmen terhadap pasar Cina dalam jangka panjang. Dalam panggilan pendapatan akhir April, ia menekankan adanya tanda-tanda positif setelah penyesuaian harga dan penawaran produk.
"Kami tetap berkomitmen pada Tiongkok untuk jangka panjang," kata Niccol saat itu dilansir dari Bloomberg. "Kami melihat potensi besar untuk bisnis kami di sana pada tahun-tahun mendatang dan tetap terbuka terhadap bagaimana kami mencapai pertumbuhan itu."
Niccol juga mengatakan pada Oktober lalu, bahwa Starbucks sedang menjajaki kemitraan untuk membantunya dalam jangka panjang, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Langkah serupa sebelumnya dilakukan pemain global lain seperti McDonald’s dan Yum! Brands yang melepas sebagian saham bisnis mereka di Cina kepada investor lokal untuk mempercepat pertumbuhan.Sejak akhir Februari, harga saham Starbucks turun sekitar 25 persen.
Tekanan tarif Trump
Sejumlah peritel, termasuk makanan minuman menghadapi prospek suram seiring tekanan tarif yang diberlakukan Presiden Donald Trump.
McDonalds dan Harley Davidson mencatat hasil kuartalan yang kurang menggembirakan karena banyak konsumen AS menahan konsumsinya di tengah perubahan kebijakan perdagangan AS.
McDonald's membukukan penurunan penjualan global kuartalan. Perusahaan ini akan menavigasi "kondisi pasar yang paling sulit". Hal ini semakin memperkuat dugaan baru-baru ini para operator restoran Domino's Pizza, Chipotle Mexican Grill dan Starbucks bahwa konsumen Amerika menghabiskan lebih sedikit uang untuk makan di luar.
Investor khawatir bahwa rencana tarif pemerintahan Trump akan memicu inflasi dan merugikan pertumbuhan ekonomi global, yang pada gilirannya menghalangi pengeluaran diskresioner.
"Sangat sulit bagi pengecer untuk memberikan panduan yang solid dan tidak bersikap konservatif ketika mereka tidak tahu apa yang akan mereka dapatkan dalam hal inventaris, terutama yang berasal dari Tiongkok," kata Art Hogan, kepala strategi pasar di B Riley Wealth dikutip dari Reuters.