Lika-liku Jalan Lisa Widodo, dari Bankir Menjadi Srikandi Blibli.com

Jakarta, FORTUNE - Sejak kecil COO & Co-Founder PT Global Digital Niaga Tbk (Blibli), Lisa Widodo, telah bercita-cita menjadi seorang wanita karier. Ia bahkan menuliskannya di biodata sekolahnya saat SMP. Meski tidak memiliki sektor spesifik yang ingin digeluti, perjalanan hidup membawanya ke dunia teknologi dan bisnis digital.
Dibesarkan dalam keluarga yang mendukung pendidikan, sang ayah melihat potensi kepemimpinan dalam diri Lisa, meskipun menganggap putrinya mudah terbawa perasaan dalam mengambil keputusan. Demi mengasah logikanya, sang ayah mendorongnya masuk ke jurusan Teknik Mesin di The University of Texas at Austin pada 1998.
Saat menempuh pendidikan, Lisa aktif bekerja sebagai asisten operator di laboratorium komputer kampus dan menjalani program magang selama setahun di Bayer sebagai process engineer. Ia pun melanjutkan pendidikan S2 di bidang Material Science and Mechanical Engineering pada 2002-2004 dengan beasiswa.
Lulus dari Amerika Serikat, Lisa bekerja di Semiconductor Manufacturing Technology (SEMATECH), sebuah konsorsium riset semikonduktor milik pemerintah AS. Ia terlibat dalam berbagai riset, menjadi pembicara di konferensi teknologi, dan mendapat tawaran beasiswa doktoral. Namun, ibunya menentang rencana tersebut. “Mama khawatir kalau saya sekolah S3 lalu jadi profesor, siapa yang mau menikahi saya?” ujar Lisa kepada Fortune Inonesia. Akhirnya, ia punmemutuskan pulang ke Indonesia pada 2005.
Setelah kembali ke Indonesia, Lisa mengalami kesulitan mencari pekerjaan di bidang riset. Atas saran teman-temannya, ia mencoba peruntungan di dunia perbankan. Pada 2006, ia bergabung dengan Citibank melalui program Management Trainee di divisi Operation and Technology. Pengalamannya di dunia perbankan mengasah kemampuannya di bidang teknologi keuangan.
Setelah hampir empat tahun bekerja di Citibank, Lisa mendapat tawaran dari Grup Djarum yang ingin mengembangkan bisnis digitalnya. Awalnya, ia ragu. Namun, setelah diskusi panjang, ia menerima tawaran tersebut. “Entah sudah jodoh, akhirnya banyak pintu terbuka bagi saya untuk terus berkecimpung di dunia teknologi,” katanya.
Merintis Blibli hingga IPO
Pada 2009, Lisa bersama tim kecilnya kemudian mulai mengembangkan proyek e-commerce yang kelak menjadi Blibli. Kala itu, mereka menghadapi berbagai tantangan, mulai dari sistem pembayaran yang terbatas, infrastruktur logistik yang belum memadai, hingga kurangnya talenta teknologi berpengalaman. Lisa dan timnya harus meyakinkan pihak perbankan untuk bekerja sama dalam sistem pembayaran digital. “Kami mau tersambung dengan bank, tapi belum punya basis pengguna. Perbankan harus benar-benar diyakinkan,” ungkapnya. Selain itu, mereka juga harus membangun sistem keamanan transaksi digital untuk mencegah penipuan.
Setelah dua tahun perencanaan dan pengembangan, Blibli resmi diluncurkan pada 2011. Awalnya, merek yang diajukan dalam proposal bernama “Belibeli.” Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, nama Blibli dipilih sebagai identitas platform.
Sebagai COO Blibli, Lisa bertanggung jawab atas berbagai aspek operasional, termasuk manajemen pembayaran, risiko, kepuasan pelanggan, supply chain, hingga sustainability. “Saat ini, ada sekitar 56 juta barang diperjualbelikan di Blibli. Kami juga memberikan jaminan pengembalian hingga 15 hari jika barang yang diterima tidak sesuai,” jelasnya.
Pandemi Covid-19 menjadi masa terberat yang harus dilewati Blibli. Namun, Lisa yakin bahwa persiapan matang dan kerja sama tim yang kuat dapat membantu perusahaan melewati tantangan tersebut. “Sangat penting untuk punya rasa cinta dan integritas dalam bekerja. Kalau sudah berkomitmen, harus diselesaikan sampai akhir,” katanya.
Pada 8 November 2022, Blibli resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), sebuah pencapaian bersejarah bagi perusahaan dan Lisa pribadi. Ia merasa bangga bisa membawa Blibli ke level berikutnya dan menjadi salah satu perempuan yang berkontribusi di dunia teknologi digital.
Di lingkungan bisnis yang masih didominasi pria, Lisa tidak mengalami kesulitan beradaptasi. Saat ini, komposisi karyawan perempuan di Blibli mencapai 44 persen, dengan 36 persen di posisi pimpinan strategis. “Di sini tidak memandang gender, status, atau usia. Yang penting adalah logical thinking, process thinking, dan critical thinking,” ujarnya.
Blibli terus berkembang, hingga pada 2024 memiliki total 17 gudang penyimpanan (warehouse). Sebelumnya, Blibli mengoperasikan 16 gudang yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada Oktober 2024, Blibli meresmikan gudang baru seluas 100.000 meter persegi di Marunda, Bekasi, menjadikannya gudang terbesar yang dimiliki perusahaan tersebut.
Ke depan, Lisa ingin terus mengawal pertumbuhan Blibli sebagai perusahaan e-commerce terbaik di Indonesia. “Blibli dibangun dari kepercayaan konsumen Indonesia. Perjalanan kami masih panjang, tapi saya yakin kami bisa mencapainya,” pungkasnya.
Lisa yakin bahwa bisnis digital memiliki prospek cerah di Indonesia. “Secara logika, teknologi adalah bisnis masa depan. Jadi, saya berada di ranah yang memang memiliki masa depan yang cerah untuk generasi selanjutnya,” ujarnya. Jika di masa kecil Lisa Widodo belum menetapkan sektor spesifik untuk kariernya, kini ia telah menemukan jawabannya: menjadi wanita karier di industri teknologi dan digital.