Jakarta, FORTUNE - Di tengah maraknya minat konsumen terhadap produk mewah, pengalaman pelanggan tetap menjadi pembeda utama. Bagi Irwan Danny Mussry, CEO Time International, justru dari pengalaman pribadi yang mengecewakan saat membeli jam tangan Gucci di Jakarta pada medio 1980-an, tercetuslah gagasan besar yang mengubah wajah industri ritel jam mewah di Indonesia. Alih-alih menemukan pelayanan premium yang sepadan dengan harga dan ekspektasi, ia pulang dengan rasa kecewa—namun sekaligus dengan visi tajam akan peluang bisnis yang belum tergarap.
Untuk menelusuri kisah lengkap di balik kelahiran Time International, Fortune Indonesia berbincang dengan Irwan di Jakarta. Ia membagikan perjalanan puluhan tahun yang dimulai dari satu momen frustrasi kecil, hingga kini mengelola jaringan ritel barang mewah lintas kategori yang menjadi salah satu pemain terbesar di Asia Tenggara.
Bagaimana kisah awal Anda bisa terjun ke bisnis jam tangan mewah?
Sekitar tahun 1980-an, saya kembali dari Amerika ke Indonesia untuk berlibur. Pada sebuah kesempatan, saya berniat membeli arloji Gucci di Gajah Mada Plaza, Jakarta Pusat. Namun, nasib baik tidak berpihak kepada saya. Pelayanannya tidak sesuai standar. Padahal saya berharap mendapatkan pengalaman menyenangkan saat membeli sebuah barang mewah yang saya idam-idamkan.
Saya pulang dari tempat itu dengan memendam kekesalan, sekaligus menemukan peluang bisnis. Jika posisinya ditukar, saya akan melayani pelanggan dengan jauh lebih baik.
Apa langkah pertama Anda setelah pengalaman tersebut?
Sebagai langkah lanjutan, saya mengajukan proposal untuk bermitra dengan Gucci Timepieces. Saat itu belum banyak pemain industri produk mewah di Indonesia yang menjadi kompetitor Time International. Kami memiliki ruang besar untuk berkembang, apalagi bila dipadukan dengan kegigihan tinggi untuk meraih kesuksesan. Peluang inilah yang saya janjikan kepada Gucci Timepieces.
Bagaimana Gucci menyambut ajakan kerja sama Anda?
Ajakan kerja sama tersebut lalu disambut hangat oleh Gucci Timepieces. Mereka memberi wewenang kepada Time International untuk menjadi distributor resmi arloji Gucci di Indonesia. Ini adalah cikal bakal dari Time International yang Anda kenal sekarang.
Apakah Anda memang memiliki latar belakang bisnis sejak awal?
Saya tidak begitu saja terlempar ke dalam gelanggang bisnis. Sejak masa sekolah, naluri bisnis saya telah terasah. Inspirator utama saya adalah ayah, seorang pebisnis otomotif. Ayah saya wafat ketika saya berusia delapan tahun.
Namun tanpa disadari, saya selalu tertarik mendengarkan percakapan antara beliau dan kawan-kawannya saat berkunjung ke kediaman kami. Bagi saya, mendengar cerita tentang dinamika berbisnis lebih menarik ketimbang bermain sepeda di luar.
Apa pandangan Anda soal kepemimpinan dalam bisnis?
Saya sadar bahwa bisnis dan kepemimpinan memerlukan pembentukan. Maka, meski meneruskan usaha yang dirintis ayah saya pada 1965, saya tetap merasa harus meniti karier dari bawah.
Tiada yang terjadi karena kebetulan semata. Latar belakang saya adalah bidang pemasaran, tiba-tiba saya harus memimpin sebuah perusahaan. Lantas, saya harus banyak belajar untuk menjadi seorang CEO dan berguru pada mentor-mentor perusahaan besar dunia.
Bagaimana Anda membangun Time International dari nol?
Dengan tim awal berisi empat orang, saya menempati kantor pertama seluas 24 m² di Bumi Daya Plaza, Jakarta. Saat itu, tim kami hanya terdiri dari seorang sopir, satu resepsionis, satu watchmaker, dan satu asisten untuk urusan logistik.
Kantor kami berfungsi ganda sebagai pusat servis Gucci Timepieces, sehingga para pelanggan tidak perlu bingung dalam hal pemeliharaan arloji. Kini layanan purna jual kami mencakup seluruh brand yang dinaungi Time International dan menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara.