Jakarta, FORTUNE - Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan larangan ekspor bijih bauksit untuk mendorong industri pengolahan dan pemurnian komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan yang akan dimulai pada Juni itu 2023 diperkirakan bakal meningkatkan pendapatan negara dari Rp21 triliun menjadi sekitar Rp62 triliun atau tiga kali lipat.
Dus, potensi bertambahnya industri yang membutuhkan listrik tegangan tinggi juga makin besar. Sebagai misal, ketika pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor komoditas nikel, PT PLN (Persero) mencatat ada lebih dari seratus permintaan tambahan tegangan tinggi untuk industri seperti smelter.
"Ada namanya konsumen tegangan tinggi additional demand di luar prediksi RUPTL, jumlahnya ada 155 pelanggan dengan estimasi 28 GigaWatt (GW)," kata Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dalam agenda bertajuk Indonesia Economic Outlook 2023: Overcoming Economic Challenge Through Sustainability, Selasa (20/12).
Namun, PLN tidak hanya melihat potensi penambahan listrik tegangan tinggi berkat program hilirisasi tambang sebagai peluang untuk meningkatkan permintaan, melainkan juga menambah bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional.
Apalagi, dalam RUPTL 2021-2030, PLN telah menghapus rencana 13 GW PLTU baru dan berkomitmen membangun 29 GW pembangkit EBT baru (51 persen dari total tambahan kapasitas). Rencana tersebut sejalan dengan target PLN untuk dapat mereduksi emisi karbon dioksida sebanyak 1,8 miliar ton dalam 25 tahun mendatang.
"Kita juga mengganti PLTU dengan pembangkit EBT. Kemudian, kita mengubah RUPTL yang berat pada fossil fuel menjadi renewable energy. Artinya, sampai 2030 kita membangun 51 persen penambahan kapasitas pembangkit berbasis EBT atau 29 GW penambahan kapasitas pembangkit dari EBT," ujar Darmawan.
Pun demikian, kelebihan pasokan listrik yang sempat terjadi selama pandemi Covid-19 membuat manajemen PLN lebih berhati-hati dalam merencanakan investasi penyediaan tenaga listrik. Darmawan menjelaskan perusahaannya kini menyusun dokumen perencanaan berbasis analisis risiko untuk menghindari kesalahan dalam memprediksi pertumbuhan permintaan listrik seperti yang terjadi pada 2015 ketika pemerintah merancang program 35.000 Megawatt (MW).
"Inilah yang terjadi di tahun 2014-2015. Begitu prediksi demand tinggi, dipenuhi semuanya. Hari ini harusnya, sesuai prediksi di 2015, demand listrik kita 420 TWh. Faktanya tahun ini hanya 270 sekian TWh. Sisanya adalah misprediction," ujarnya sembari menambahkan permintaan kelistrikan yang sempat anjlok bahkan minus karena dampak pandemi telah kembali normal dan diperkirakan mencapai 283,12 TWh atau tumbuh 4,74 persen pada 2023.
Menurutnya, kesalahan prediksi itu terjadi lantaran perencanan investasi didasarkan pada data historis elastisitas yang menunjukkan korelasi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan permintaan listrik. Padahal, angka elastisitas tersebut berubah drastis justru sejak 2015. Pada 2004 hingga 2014, rata-rata elastisitas mencapai 1,34 persen sedangkan pada 2015 hingga 2021 hanya 0,69 persen.
"Makanya estimasi pertumbuhan demand listrik menggunakan historical data dari 2004-2014 diproyeksikan untuk masa depan menjadi luput. Mengapa? Karena kita memprediksi masa mendatang berdasarkan historical data ketika ada pergeseran korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan permintaan listrik," tuturnya.
Ditambah lagi, pada 2015 pertumbuhan ekonomi diprediksi 6,1 persen tak tercapai dan hanya terealisasi 5,1 persen. "Makanya di sini kita menghadapi kondisi oversupply," katanya.
Karena itu, kata dia, PLN juga takkan serta-merta membangun pembangkit tambahan sesuai potensi 155 permintaan tambahan listrik tegangan tinggi seperti telah disebutkan. Sebab, jika ternyata investasi tegangan tinggi tersebut tak terealisasi, kondisi kelistrikan nasional bisa kembali mengalami oversupply.
"Kalau ini kami penuhi semua, kami bangun pembangkit berdasarkan ini, kami bangun gardu induk berdasarkan ini, ternyata yang minta enggak datang-datang. Bu Sinthya Roesly [Direktur Keuangan PLN] mengalirkan dana tambahan sekitar Rp300 triliun, nambah pembangkit, gardu induk, transmisi, asetnya menjadi stranded asset," imbuhnya.
PLN mengategorikan tambahan modal untuk memenuhi additional demand konsumen tegangan tinggi sebesar 28 GW tersebut sebagai investasi berisiko tinggi. "Kemudian kalau high medium risk, maka tinggal 18 GW. Medium risk 8 GW, low risk 1,7 GW," jelasnya.