Pastinya, pandemi tidak menghentikan langkah BRI melakukan ekspansi. Akhir September lalu misalnya, PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk resmi mengubah nama menjadi Bank Raya. Emiten dengan kode saham AGRO itu akan fokus dengan perannya yang baru, sebagai bank digital. Tentunya aksi ini akan menambah jumlah bank digital di Indonesia, yang mana tengah menjadi euforia.
Nantinya bersama sang induk, Bank Raya akan menerapkan konsep hybrid bank. Sunarso melihat, sentuhan manusia atau fisik belum bisa ditinggalkan hingga saat ini. Kesuksesan digital bank--dalam arti 100% digital-- hanya bisa dilakukan pada transaksi tertentu. Namun, ketika sudah berurusan dengan pinjaman kredit, maka diperlukan sentuhan offline. “Ambil contoh pinjol (pinjaman online). Giliran menagih, akhirnya gedor-gedor juga,” kata Sunarso.
Keberhasilan bank digital sendiri pun sangat bergantung dengan ekosistem yang ada. Salah satu yang utama, apakah benar bahwa literasi digital di antara masyarakat sudah merata. “Butuh proses untuk mendigitalkan. Ada keinginan, edukasi, dan penyuluhan digital. Jika bank hanya membuat produk, tapi tidak diiringi dengan pengetahuan digital dari masyarakat, ya enggak ada nasabahnya. Edukasi dan penyuluhan ini yang sedang dilakukan BRI,” katanya.
Tak hanya bank digital, BRI baru saja merampungkan sebuah hajatan besar, yaitu pembentukan Holding BUMN Ultra Mikro (UMi), antara BRI, Pegadaian, dan Permodalan Nasional Madani. Proses yang memakan waktu setidaknya setahun mulai perolehan restu dari berbagai pemangku kepentingan hingga penerbitan saham baru. Sekadar mengingatkan, rights issue BRI bernilai Rp95,9 triliun, sekaligus menjadi yang terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, ketiga di Asia, dan ketujuh di dunia.
Penasaran dengan kisah sukses Sunarso sebagai penerima Business Person of The Year 2021? Baca selengkapnya di Majalah Fortune Indonesia!