Jakarta, FORTUNE - Survei Deloitte menunjukkan 75 persen pemimpin bisnis di Asia Tenggara yang menjadi respondennye optimistis perusahaan mereka memiliki prospek yang baik pada masa mendatang.
Sementara itu, dalam hal optimisme terhadap perekonomian Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), responden yang sejalan hanya mencapai 66 persen.
Ketika fokus diarahkan pada perekonomian global, jumlah responden yang memiliki sentimen positif makin berkurang dan dan hanya mencapai 46 persen.
Deloitte menyampaikan data tersebut dalam laporan berjudul APEC CEO Survey: Bridging the Certainty Gap. Jumlah respondennya mencapai 1.252 orang, yang terdiri atas pemimpin bisnis senior (CEO dan C-Level) di 18 negara. Sebanyak 270 darinya berbasis di Asia Tenggara.
“Kami melihat ini sebagai sebuah certainty gap yang perlu dijembatani dengan visi strategis untuk mengubah distribusi menjadi peluang,” demikian CEO Deloitte Southeast Asia, Eugene Ho, dalam keterangan resminya, Senin (1/12).
Eugene mengatakan jajak pendapat tersebut menunjukkan para pemimpin bisnis di Asia Tenggara mengelola risiko dengan mendiversifikasi rantai pasok dan menunda investasi besar di tengah ketidakpastian geopolitik.
Mereka mengandalkan teknologi sebagai pendorong utama pertumbuhan saat ini, sejalan dengan prioritas terhadap inovasi dan keberlanjutan bagi visi jangka panjang.
Ada sekitar 60 persen perusahaan yang kini telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) secara langsung (live AI) pada dua atau lebih fungsi bisnis. Adopsi tertinggi terdapat pada IT/keamanan bisnis sebesar 42 persen, serta penjualan/marketing/layanan pelanggan 40 persen.
“Di luar kekhawatiran jangka pendek, para pemimpin juga mengintegrasikan AI untuk memperkuat ketahanan operasional serta mempersiapkan pelaporan dan pembiayaan berkelanjutan yang bersifat wajib,” ujarnya.
Di samping itu, Deloitte menyatakan strategi para pemimpin bisnis di Asia Tenggara mulai bergeser. Fokus pada efisiensi operasional kini bergeser menjadi ekspansi berbasis inovasi dan pencarian peluang di wilayah baru (cross-border).
Lalu, 47 persen pemimpin perusahaan akan memprioritaskan pengembangan baru dan inovasi. Lingkungan dinamis dan cepat berubah menciptakan tuntutan baru bagi organisasi dan para pemimpinnya.
Di sisi lain, rantai pasokan juga dianggap sebagai aset strategis, yang dapat berkontribusi nyata pada strategi kompetitif perusahaan.
Dalam 12 bulan ke depan, 50 persen pemimpin bisnis di Asia Tenggara berencana memperluas dan mendiversifikasi rantai pasoknya, mulai dari membangun hub regional, menambah pemasok alternatif, hingga meningkatkan pemantauan kinerja pemasok dan alur logistik untuk memperkuat ketahanan bisnisnya.
