Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (25/4/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Jakarta, FORTUNE - Pertumbuhan ekonomi RI cenderung melambat dua kuartal menjelang Pemilu, meski berpotensi menguat kembali pada kuartal setelahnya. Pelaku ekonomi pun cenderung lebih berhati-hati menjelang siklus jajak pendapat seiring potensi perubahan dalam agenda ekonomi dan peraturan, namun akan kembali berlanjut saat hasil penghitungan sementara pemilu mulai diumumkan. 

Hal itu terungkap berdasarkan riset Bank DBS bertajuk 'Indonesia's Economy and Markets Around Elections'. DBS Macro and Strategy Team menganalisis tren ekonomi dan pasar Indonesia di sekitar siklus pemilihan umum.

Analisis itu didasarkan periode terakhir Pemilu–2004, 2009, 2014, dan 2019–tidak termasuk 1999 lantaran terjadi gejolak signifikan dalam variabel ekonomi pada tahun tersebut akibat dampak krisis keuangan Asia. Berbeda dari pemilu sebelumnya, yang diadakan pada Juni setiap tahun, penyelenggaraan Pemilu mendatang akan berlangsung di Februari.

DBS Macro and Strategy Team membahas dampak dari siklus jajak pendapat terhadap enam variabel - pertumbuhan PDB riil, konsumsi, inflasi, pengeluaran pemerintah, investasi asing langsung, dan kinerja mata uang.

Pada periode tersebut, DBS Macro and Strategy Team juga menghitung kecenderungan konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari setengah dari keseluruhan hasil. "Yang menarik, dalam empat pemilu terakhir, konsumsi cenderung meningkat hingga triwulan sebelumnya (Pemilu), setelah itu lebih stabil dengan sedikit bias penurunan," kata Ekonom Senior DBS, Radhika Rao, Kamis (18/5).

Situasi tersebut juga mencerminkan peningkatan permintaan dan pengeluaran di sepanjang kampanye menjelang pemungutan suara. Ketika momentum tersebut selesai, permintaan biasanya akan kembali normal seperti sebelum pemilu. Namun, DBS mencatat ada faktor tidak biasa lain dan siklus bisnis pada tahun-tahun tersebut, yang juga dapat mempengaruhi kecenderungan konsumsi dan pertumbuhan secara keseluruhan.

"Tahun 2009 berhasil mengantisipasi kecenderungan setelah krisis keuangan global, sementara 2014 menandai stabilisasi setelah Bank Sentral AS memperketat kebijakan moneternya (taper tantrum) pada 2013, yang lebih berdampak pada pasar ketimbang perekonomian," katanya.

Dengan menggunakan variabel aktivitas, DBS Macro and Strategy Team juga melacak pengeluaran pemerintah–terutama kegiatan pemerintah pusat (total pengeluaran), riset menunjukkan bahwa pengeluaran cenderung melambat pada kuartal sebelum periode Pemilu.

Hal itu berlaku untuk pengeluaran baik fiskal nominal maupun riil (disesuaikan dengan inflasi), yang mencerminkan gagasan bahwa pemerintahan baru mendatang mungkin memprioritaskan kembali alokasi pengeluaran, cenderung memperlambat pencairan dana menjelang pemilu.


 

Inflasi dan perubahan kebijakan

Secara umum, keempat siklus terakhir menunjukkan penurunan inflasi ritel menjelang pemilu dan kemudian stabil hingga naik pada kuartal setelah pemilu. Kebijakan untuk melindungi harga domestik dari kendala suplai membantu menjaga inflasi tetap terkendali. 

Respon kebijakan moneter selama periode tersebut digerakkan oleh kombinasi manajemen inflasi, pergerakan mata uang, dan lintasan pertumbuhan yang berkembang.

Sebagai contoh, Bank Indonesia merespons perlambatan inflasi pada 2009 dengan melonggarkan suku bunga acuan. Sedangkan, untuk mengatasi gejolak mata uang yang ekstrim dan inflasi tinggi, BI menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 175 basis points (bps) selama taper tantrum 2013, mempertahankan sikap ketat hingga 2014, sebelum menaikkan suku bunga acuan pada akhir tahun untuk mengatasi tekanan harga akibat kenaikan subsidi bahan bakar minyak.

Arus FDI dan mata uang

Editorial Team

EditorEkarina .