Jakarta, FORTUNE - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor, pada Rabu (2/4) waktu setempat. Tarif imppr baru yang disebutnya sebagai timbal balik atau”'reciprocal tariffs” ini ditetapkan terhadap sejumlah barang impor yang masuk ke AS dari berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara berkembang lain di Asia.
Dikutip dari The Guardian, negara-negara berkembang di Asia Tenggara, termasuk Myanmar yang dilanda perang dan gempa bumi, dan beberapa negara Afrika termasuk di antara mitra dagang bakal menghadapi tarif tertinggi yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Trump yang pada Rabu atau Kamis waktu setempat mengumumkan serangkaian tarif yang katanya dirancang untuk menghentikan ekonomi AS dari "kecurangan" telah mengubah kebijakan perdagangan AS selama beberapa dekade dan berisiko memicu perang dagang global.
"Ini adalah salah satu hari terpenting, menurut pendapat saya, dalam sejarah Amerika," kata Trump dalam keterangannya, dikutip dari the Guardian Kamis (3/4). "Ini merupakan deklarasi kemerdekaan ekonomi kita."
Trump menyebut momen itu sebagai "hari pembebasan", tetapi tarif tersebut kemungkinan akan disambut dengan protes keras sejumlah negara. Seorang pakar mengatakan Trump kemungkinan akan menargetkan negara-negara yang menerima investasi dari Tiongkok, terlepas dari situasi di negara itu. Produsen Tiongkok sebelumnya telah pindah ke negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja tidak hanya karena biaya operasional yang lebih rendah, tetapi juga untuk menghindari tarif.
Tak hanya Cina dan Eropa, tarif tersebut juga diberlakukan ke negara di Asia Tenggara yang sudah bergulat dengan dampak dari pemotongan dana USAid, usai menyediakan bantuan kemanusiaan ke wilayah yang rentan terhadap bencana alam dan dukungan bagi aktivis pro-demokrasi yang memerangi rezim yang represif.
Kamboja, negara berkembang yang 17,8 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), adalah negara yang paling terpukul di kawasan tersebut dengan tarif sebesar 49 persen. Lebih dari separuh pabrik di negara tersebut dilaporkan dimiliki oleh Tiongkok.
Di posisi kedua adalah Laos, negara yang dibombardir oleh AS selama perang dingin, dengan 48 persen. Menurut ADB, Laos memiliki tingkat kemiskinan sebesar 18,3 persen.
Kemudian, di belakangnya ada Vietnam dengan 46 persen dan Myanmar, negara yang belum lama ini diguncang gempa bumi dahsyat dan perang saudara selama bertahun-tahun setelah kudeta militer tahun 2021, dikenakan tarif 44 persen.
Adapun, Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, menghadapi tarif sebesar 32 persen, sementara Thailand, yang terbesar kedua, telah dikenai tarif sebesar 36 persen.
Pesaing utama AS dan mitra dagang Cina telah dikenai tarif timbal balik sebesar 34 persen di atas pungutan sebesar 20 persen yang telah diberlakukan.
Dr Siwage Dharma Negara, seorang peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, mengatakan bahwa tarif pada negara-negara Asia Tenggara sebenarnya dimaksudkan untuk merugikan Cina.
“Pemerintah berpikir bahwa dengan menargetkan negara-negara ini, mereka dapat menargetkan investasi China di negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Indonesia. Dengan menargetkan produk mereka, mungkin hal itu akan mempengaruhi ekspor dan ekonomi China,” katanya.
“Target sebenarnya adalah Tiongkok, tetapi dampak sebenarnya pada negara-negara tersebut akan cukup signifikan karena investasi ini menciptakan lapangan kerja dan pendapatan ekspor.”
Tarif pada negara-negara seperti Indonesia, katanya, akan menjadi kontraproduktif bagi AS, dan rincian tentang bagaimana tarif tersebut akan diterapkan masih belum jelas.
“Beberapa perusahaan garmen dan alas kaki, beberapa adalah merek Amerika seperti Nike, atau Adidas, perusahaan AS yang memiliki pabrik di Indonesia. Apakah mereka juga akan menghadapi tarif yang sama?” katanya.
Negara-negara lain yang paling terpukul adalah beberapa negara di Afrika, termasuk Lesotho yang dikenakan tarif 50 persen, Madagaskar 47 persen, dan Botswana dengan 37 persen. Lesotho, kerajaan pegunungan kecil yang dikelilingi oleh Afrika Selatan, memiliki tingkat infeksi HIV tertinggi kedua di dunia, dengan hampir satu dari empat orang dewasa positif HIV.
Di Asia Selatan, Sri Lanka menghadapi tarif sebesar 44 persen. Di Eropa, Serbia menghadapi tarif sebesar 37 persen.