Jakarta, FORTUNE - Studi terbaru dari MoneySuperMarket, situs keuangan asal Inggris, menunjukkan besarnya konsumsi listrik yang digunakan untuk tiap transaksi mata uang kripto. Bitcoin, misalnya, disebut menghabiskan sekitar 1.173 kWh listrik untuk tiap transaksinya—mulai dari pembelian karya seni di NFT atau bahkan secangkir coffe latte.
Jumlah itu setara dengan tiga bulan konsumsi listrik rumah tangga di Inggris yang rata-rata per bulannya menghabiskan 350 kWh. Dan jika harga listrik per kWh di negara tersebut mencapai £0,11 atau 14 sen per kwH, maka biaya listrik untuk tiap transaksi bitcoin mencapai sekitar £125 atau US$173.
Sementara jika menggunakan tarif listrik rumah tangga Indonesia golongan 1.300-2.220 VA—tarifnya Rp1.467,28 atau sekitar 10 sen per kWh—tiap transaksi bitcoin bisa memakan biaya listrik hingga Rp1,7 juta.
Masalahnya, kata Alex de Vries, ekonom Belanda yang situsnya Digiconomist melacak jejak karbon Bitcoin, harga setrum untuk tiap transaksi bitcoin bisa lebih murah karena penambangannya dilakukan di negara-negara dengan tarif listrik lebih rendah.
"Saya memperkirakan rata-rata untuk penambang Bitcoin adalah 5 sen,” katanya seperti dikutip Fortune.com. "Itu pun masih angka yang tergolong tinggi. Banyak yang menambang di negara-negara berbiaya super rendah dengan harga 3 atau 4 sen."
Dan dengan harga listrik 5 sen per kWh, biaya listrik per transaksi pun masih tetap mahal, meski telah turun dari $176 menjadi sekitar $100. Jumlah listrik yang dikonsumsi Bitcoin hanya untuk satu transaksi itu menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah menciptakan "mata uang" dengan menghabiskan semua energi itu merupakan model bisnis yang baik?