Jakarta, FORTUNE – Raksasa minyak dan gas (migas) asal Amerika Serikat (AS), ConocoPhillips melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 25 persen karyawannya secara global. Perusahaan didesak memperketat fokus pada disiplin modal dan prioritas investasi agar bisa kembali kompetitif melawan para pesaingnya di tengah harga minyak dan pendapatan yang menurun.
Hal ini diungkap para investor dan analis setelah perusahaan tersebut pekan lalu mengumumkan PHK.
Dikutip dari Reuters, kebijakan yang ditempuh produsen minyak terbesar ketiga di AS itu mengikuti langkah perusahaan minyak raksasa lain yang telah lebih dulu melakukan PHK karyawan, seperti Chevron, BP serta perusahaan jasa migas terbesar dunia seperti SLB dan Halliburton.
Meningkatnya produksi minyak OPEC+ dan ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan perdagangan AS yang tidak menentu, telah menekan harga minyak mentah dan membuat laba perusahaan migas jatuh ke level terendah sejak pandemi COVID-19.
Harga minyak mentah sepanjang tahun ini telah anjlok 12 persen, dan diperkirakan akan kembali melemah pada 2026 seiring tingginya pasokan melebihi permintaan, menurut Badan Informasi Energi AS.
“Pemangkasan 25 persen karyawan ini menunjukkan betapa tidak efisiennya perusahaan,” kata Michael Alfaro, Chief Investment Officer di Gallo Partners dilansir dari Reuters, Selasa (9/9). Alfaro termasuk di antara investor dan analis yang mengaku terkejut dengan skala PHK ConocoPhillips, yang bisa berdampak pada sekitar 3.250 karyawan di seluruh dunia.
Selain prospek pasar minyak yang suram, ConocoPhillips juga menghadapi tantangan proyek besar yang menguntungkan jangka panjang, meski membutuhkan modal sangat besar di awal. Setelah serangkaian akuisisi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pembelian Marathon Oil senilai US$22,5 miliar tahun lalu, perusahaan kehilangan fokus dalam mengendalikan biaya, kata CEO Ryan Lance kepada karyawan pekan lalu.
Menurut Stewart Glickman, direktur riset ekuitas di CFRA, ConocoPhillips perlu memprioritaskan proyek besar seperti proyek minyak Willow di Alaska dan pengembangan bisnis gas alam cair (LNG) karena keduanya akan menjadi pendorong arus kas masa depan. Namun itu berarti, perusahaan harus memangkas biaya di area lain.
Beberapa investor menilai langkah tersebut belum cukup. “Mereka menyelesaikan masalah tenaga kerja, tapi tidak menyelesaikan masalah alokasi modal,” kata Josh Young, CIO di Bison Interests. “Menurut saya, mereka belum cukup bijak dalam mengalokasikan modal.” Namun, Young menambahkan bahwa ConocoPhillips masih memiliki aset berkualitas tinggi. ConocoPhillips menolak memberikan komentar perihal laporan ini.
Perusahaan diperkirakan mengalokasikan belanja modal (capex) tahun ini US$12,3–12,6 miliar, atau 10 persen lebih rendah dari proyeksi gabungan ConocoPhillips dan Marathon tahun lalu. Pada Agustus lalu, manajemen menyampaikan bahwa capex tahun depan juga diperkirakan lebih rendah. Sedangkan pada tahun lalu, capex ConocoPhillips mencapai USD 11,2 miliar, begitu pun pada 2022 sebesar US$10,2 miliar.