Ilustrasi Perbankan/ Achmad Bedoel
Meski memiliki pencadangan yang menumpuk, tak dipungkiri penggerusan pencadangan dikhawatirkan bakal menggerus laba perbankan di tahun 2025 mendatang pasca putusan persidangan dari Sritex.
Hal itu disampaikan oleh Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) sekaligus Pengamat Perbankan, Trioksa Siahaan saat dihubungi Fortune Indonesia (5/11).
Ia menjelaskan, nantinya cadangan akan terkikis oleh kredit yang macet menjadi beban NPL. Sedangkan bank akan mengalokasikan pencadangan kembali sehingga berpotensi mengurangi laba.
"Laba tergerus karena adanya pembentukan cadangan beban NPL. Pasti berkurang, namun tidak signidikan karena bank bank yang memberikan pembiayan itu bank besar," kata Trioksa.
Di sisi lain, likuiditas industri perbankan masih tergolong sangat kuat. OJK mencatat likuiditas industri perbankan pada September 2024 tetap memadai, dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 112,66 persen dan 25,40 persen. Keduanya masih di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga pada September 2024 dengan rasio NPL gross sebesar 2,21 persen atau membaik dibandingkan dengan posisi Agustus 2024 yang mencapai 2,26 persen. Sedangkan untuk NPL net sebesar 0,78 persen atau membaik bila dibandingkan posisi Agustus 2024 sebesar 0,78 persen. Loan at Risk (LaR) juga menunjukkan tren penurunan menjadi sebesar 10,11 persen. Rasio LaR tersebut juga mendekati level sebelum pandemi yaitu sebesar 9,93 persen pada Desember 2019.
Seperti diketahui sebelumnya, Sritex telah digugat oleh PT Indo Bharat Rayon (IBR) yang merupakan salah satu kreditor utang. Sritex diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Namun, saat ini Sritex akan mengajukan kasasi.