Presiden Direktur PT Samudera JWD Logistics, Andreana Yunizar. (Dok. Samudera Indonesia)
Bagaimana awal mula Samudera memutuskan masuk ke bisnis cold chain?
Sebenarnya Samudera sudah lebih lama tertarik masuk ke dalam bisnis cold chain. Kalau tidak salah pada 2011-2012. Kami waktu itu pernah melakukan studi tentang potensi bisnis cold chain.
Kami juga mencoba mencari partner yang kira-kira punya pengalaman pada bisnis itu, karena kami tidak mungkin masuk ke industri baru tanpa punya pengalaman.
Hingga akhirnya pada 2017, kami memutuskan mendirikan perusahaan, namanya Samudera JWD Logistics. Kami lakukan melalui salah satu subholding Samudera, yaitu Samudera Sarana Logistics, dengan JWD Asia.
JWD Asia itu perusahaan asal Thailand yang punya pengalaman banyak di bisnis cold chain di [negara tersebut]. Setahun kemudian, 2018, kami mengakuisisi majority share-nya Adib Cold Logistics (ACL), yang memang sudah beroperasi pada 2015-2016. Kami berpartner, Samudra JWD Logistics dengan pemilik lama JWD, yaitu Adib Global Food Supply.
Sebelum membeli saham JWD, berarti sudah bermitra lebih dulu dengan ACL?
Sudah. Fasilitas itu sudah dipakai oleh Samudera untuk menangani beberapa produk. Itu bagian dari extension warehouse di Cikarang.
Saat itu di sana masih fokus di dry, sementara ada beberapa klien yang membutuhkan temperature control, sehingga fasilitas itu dipakai untuk menyimpan produk-produknya.
Mengapa waktu itu memilih membeli saham dan masuk ke cold chain?
Pemainnya tidak banyak, tidak sebanyak sekarang. Saat itu kami melihat momennya bagus untuk masuk ke industri cold chain. Karena, pada saat yang sama, kebutuhannya meningkat.
Apalagi, pertama, Samudera sudah di bisnis dry [gudang penyimpanan] cukup lama. Terus, mulai berkembang restoran, kemudian gaya hidup mulai berubah, sehingga tingkat konsumsi masyarakat juga lebih tinggi. Nah, di situlah kemudian kami coba berpartner di bisnis cold chain.
Kami sudah mulai melihat peluang bisnis cold chain pada 2011. Jauh sebelum itu juga, Samudera pernah menangani satu restoran cepat saji, salah satu yang terbesar di Indonesia, untuk menangani distribusi lokal, di area Sumatra dan Batam.
Kemudian ada tawaran dari restoran itu untuk menambah jangkauan distribusinya, tapi dengan fasilitas tambahan seperti penyimpanan segala macam. Akhinya, kami berpikir, 'harus ada cold storage, angkutan delivery yang lebih banyak, dan sebagainya.'
Di situlah mulai memikirkan partnership, dengan yang memang berpengalaman. Itu pertama.
Kedua, membangun fasilitas juga harus dilihat target pasarnya siapa? Jangan sampai nanti kami salah bangun.
Kalau dengan JWD, bagaimana ceritanya dari awal berkenalan hingga memutuskan mendirikan joint venture?
Kami sudah lama kenal. Samudera punya kantor di Thailand dan [JWD] juga sering bekerja sama dengan Samudera di sana. Jadi, akhirnya kami berpartner dengan mereka, seperti dengan teman lama yang mengenal satu sama lain.
Berdasarkan riset, ketersediaan fasilitas cold chain di Indonesia cukup banyak untuk sektor makanan, tetapi kurang untuk sektor seperti farmasi. Mengapa? Bagaimana dengan di Samudera?
Fasilitas kami ada dua tipe. Yang satu buat menyimpan makanan, rata-rata [makanan] frozen. Satunya lagi yang chill.
Nah, chill ini, berawal dari Samudera yang menggunakan fasilitas ACL untuk menyimpan produk milik pelanggan Samudera. Itu sebenarnya produk-produk chill, di situ termasuk farmasi juga.
Awalnya dari farmasi, lalu dikembangkan ke penyimpanan produk makanan. Makanya sebetulnya mayoritas fasilitas yang ada di Samudera itu untuk cold chain logistik untuk farmasi. Total itu kami punya 50.000 pallet position ya, dengan sekitar 35.000 itu dipakai untuk farmasi.
Mana lebih menantang, menyimpan produk farmasi atau produk makanan?
Sebenarnya, [yang menantang itu] proses awalnya, proses awal untuk mendapatkan persetujuan dari otoritas setempat, yang menyatakan fasilitas ini sudah layak untuk menyimpan produk farmasi. Karena proses auditnya juga panjang. Ada sertifikat-sertifikat khusus untuk menangani produk farmasi. Lebih mendetail dibandingkan dengan produk makanan.
Misal, selain dari pemerintah atau instansi, ada juga syarat sertifikat dari pihak pelanggan, karena pelanggan ada yang lokal, ada juga yang internasional. Yang paling rigid itu yang internasional.
Standar yang paling umum itu kita menyebutnya CPOB. Terus ada juga yang namanya GDPMDS (good distribution practice for medical devices). Lalu ada BPOM, karena fasilitas-fasilitas formasi itu tidak boleh dicampur dengan fasilitas yang lain. Harus steril.
Gudang yang menangani farmasi, bongkar muatnya tidak boleh digabung dengan produk yang lain, dengan industri yang lain.
Itulah, mungkin, yang pada akhirnya membuat tidak banyak pemain cold storage yang memiliki fasilitas khusus farmasi.
Masalah penanganan operasionalnya, sama saja.
Apa kunci Samudera bisa melakukannya?
Secara fasilitas, kami melihat permintaannya cukup terus meningkat. Meski kalau secara total, di industri cold chain pangsa pasar farmasi itu kecil sebenarnya, dibandingkan dengan protein hewani seperti daging ayam, ikan, dan sebagainya.
Tapi, dia unit. Tidak besar, tetapi standardisasi tinggi. Akhirnya, kalau dulu kami bisa mengatakan, tarifnya juga premium. Secara margin lebih bagus.
Tapi memang lebih rigid dibanding untuk sektor lain?
Betul, ketika bicara perizinan saat itu, ya.
Kalau sekarang, [perusahaan-perusahaan farmasi] juga sudah memikirkan efisiensi biaya. Persaingan juga sudah mulai ketat. Industri mereka juga, karena banyak regulasi.
Permintaan dari farmasi juga sekarang bagus. Farmasi itu dulu bisnisnya dikelola oleh manufakturnya sendiri. Sekarang itu mereka mulai mengalihkan ke pihak ketiga. Atau, jika mereka punya fasilitas sendiri, pengelolaannya diserahkan ke pihak ketiga.
Jadi, kami juga tidak hanya mengelola gudang sendiri, tapi kami juga mengelola pergudangan milik klien supaya pengelolaannya lebih baik, akurasi inventarisnya lebih baik. Karena, dalam pergudangan itu, kalau salah dalam pengelolaan, barang yang ada di dalam bisa rusak.