Krisis menegaskan ketangguhan, dan Wendy membuktikan itu. Ketika krisis keuangan melanda Asia pada 1997-98, Sari Roti justru mendongkrak utilisasi produksinya dari 20 persen menjadi 80 persen untuk memenuhi kebutuhan pasokan di minimarket dan kanal pemasaran tradisional.
Dua tantangan saat itu, menjaga standar dan konsistensi produk dan godaan menaikkan harga. “Untungnya, partner Jepang sangat baik. Mereka menugaskan dua tenaga ahli dari Jepang. Walaupun di tengah krisis, mereka membantu kami menjaga kualitas, konsistensi, dan kapasitas produksi,” ujarnya.
Harga pun menjadi pertimbangan. Walaupun laku karena dibutuhkan, Wendy tidak ingin menaikkan harga. Saat terjadi krisis dan banyak minimarket tutup, dia mengatakan bisa saja ambil untung setinggi-tingginya karena orang pasti beli. Tetapi, jalan itu tidak dia ambil. “Kami punya kualitas yang bagus, tapi harga tetap harus terjangkau. Itu lebih penting buat saya. Dari sanalah brand Sari Roti jadi lebih terkenal lagi,” ujarnya.
Perempuan kelahiran 1955 ini juga berperan dalam mematangkan strategi pemasaran serta distribusi. Produk Sari Roti awalnya hanya dipasarkan di Jabodetabek baru kemudian merambah ke pelosok pulau Jawa hingga akhirnya seluruh Indonesia. “Awalnya hanya ada roti tawar, ada roti tawar spesial, terus ada roti manis. Ya baru 10 atau 20 SKU. Belum banyak,” katanya mengenang. Namun, seiring waktu, perusahaan mulai mereguk untung pada 2002 dan berlanjut membangun pabrik kedua di Pasuruan dan terus melesat hingga 2009. Wendy pun mantap mengambil langkah besar untuk mengantarkan perusahaan tersebut go public. “Saya bicara sama almarhum ayah dan Anthony Salim, bahwa saya mau Sari Roti go public, dan 2010 terwujud. Saat itu kami sudah punya lima pabrik dan kapasitas produksi terus meningkat,” katanya.
Usai listing dengan kode emiten ROTI, perusahaan terus bertumbuh. Dalam perjalanannya, ROTI menggelar rights issue pada 2017. Modal tersebut digunakan untuk membangun lima pabrik baru. Kualitas tetap jadi fokus utama Wendy. Tak jarang ia membeli sendiri produknya—baik di minimarket hingga airport—untuk memeriksa langsung kualitas produk hingga sampai ke tangan pelanggan.
Saat ini, produk Sari Roti dapat ditemukan di lebih dari 80.000 titik penjualan, katanya. “Kami menjadi yang terbesar di Asia dari sisi outlet,” ujar pemimpin dari perusahaan yang pada 2022 memiliki 6.118 pegawai ini.
Sebagai konteks kecil, Indonesia tidak memproduksi gandum, tapi salah satu konsumen besar. Departemen Pertanian Amerika Serikat menyatakan total konsumsi gandum Indonesia pada 2022-23 ditaksir mencapai 9,5 juta ton setara gandum, lebih kecil dari perkiraan sebelumnya yang mencapai 9,7 juta ton. Australia menjadi pemasok terbesar dengan 46,7 persen pangsa pasar. Sementara untuk roti sendiri, pasar Indonesia diyakini akan terus tumbuh menyusul maraknya urbanisasi dan berkurangnya waktu menyiapkan makanan, demikian riset 6Wresearch. Pertumbuhan juga diramalkan terjadi karena perubahan gaya hidup dan preferensi makanan, yang menyebabkan peningkatan permintaan roti.
Krisis lain, yakni Covid-19, yang menjangkiti Tanah Air pada 2020, juga menjadi tantangan tersendiri. Yang ada pada pikiran Wendy saat itu adalah bagaimana agar produksi massal tidak terganggu, pun dengan keselamatan karyawan. Bahkan Ia tidak segan menyewa hotel dekat pabrik agar karyawan tidak menggunakan transportasi massal. “Pada awal pandemi, kalau ada karyawan terkena Covid satu saja, semua akan repot bahkan pabrik harus tutup sementara untuk proses desinfektan,” ujarnya.
Dengan masuknya wabah, terbit momentum untuk memperluas kanal digital. Setahun sebelum pandemi, kanal digital yang dikembangkan dipercepat untuk menggenjot penjualan. Tak hanya itu, kanal tradisional atau penjaja keliling yang dimulai sejak 1998 juga digenjot untuk menjangkau pelanggan khususnya saat penerapan PSBB/PPKM.
Wendy mengeklaim pangsa pasar Sari Roti secara nasional mencapai 18 persen. Meskipun dibayangi para pesaingnya, dia tetap yakin produknya tetap berjaya. Ketika harga gandum meroket pun, dia tidak khawatir karena disokong Bogasari dan para pemasok lain. “Kenaikan harga gandum memang jadi tantangan, termasuk bahan baku lain. Tapi kami membeli dalam volume besar sehingga mampu bernegosiasi untuk mendapatkan harga yang terbaik,” ujarnya.
Menyoal channeling di Modern Trade, Wendy juga percaya diri. Saat ini pangsa minimarket dan supermarket berkontribusi 70 persen terhadap total penjualan. “Kami hadir di lebih dari 50 supermarket dan minimarket ternama yang mencakup lebih dari 43.000 outlet di seluruh Indonesia,” katanya.
Wendy optimistis dengan produknya. Apalagi saat pandemi, inovasi lewat produk roti Klasik Series, roti Jumbo Series, maupun Sari Choco Milk mendapat sambutan baik. Dia ingin berkonsentrasi menghadirkan panganan yang mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Sesuai dengan prinsip dari Piet, sang ayah yang juga mentornya: “Whatever you do, always remain in the food industry because you have to feed a nation.”