Sawah dan Petani. (Pixabay)
Kuseryansyah mengatakan, masalah lain yang menyebabkan fintech per to peer Tanifund iini sulit berkembang lantaran hanya fokus pada satu sektor pembiayaan yakni pertanian.
Hal ini sangat menantang karena sektor pertanian dan perikanan erat kaitannya dengan entitas impor dan ekspor, seperti halnya degan pakan dan pupuk.
"Sangat challenging untuk survive. Kebetulan TaniFund itu sektornya tunggal, sektor pertanian," kata Kuseryansyah saat ditemui di SCBD Jakarta, Selasa (13/6).
Ia memberikan contoh, Indonesia tercatat masih mengimpor gandum. Sementara, ekspor gandum dipengaruhi perang Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, Covid-19 masih berdampak pada terhambatnya logistik. "Mereka (TaniFund) kena impact, kebetulan mereka itu produknya single. Jadi dampaknya lebih dalam," imbuh dia.
Berkaca dari kejadian tersebut, ia mengimbau entitas fintech lending memiliki variasi produk pembiayaan mulai dari sektor produktif hingga konsumtif. Asosiasi dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengimbau kepada fintech untuk bisa menyasar pembiayaan produktif dengan 2-3 lintas segmen produk sebagai penyeimbang.
Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK, Triyono Gani sebelumnya mengungkapkan, Tanifund sudah tak sanggup untuk menyelesaikan masalah kredit macet miliknya. Bahkan, fintech tersebut sudah tidak memiliki action plan pembenahan kinerja.
"Kayak TaniFund itu sudah angkat tangan. Jadi, mereka memang sudah tak bisa melakukan action plan apa pun dan tidak mampu," ujar Triyono