Jakarta, FORTUNE - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suryo Utomo, menjelaskan bahwa penggunaan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai lain dalam perhitungan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bertujuan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU tersebut, tarif PPN ditetapkan sebesar 12 persen dan wajib diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025.
Namun, dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan tarif sebesar 11 persen untuk barang dan jasa di luar kategori barang mewah.
“Apa yang ada di UU tidak berubah. Sekarang, bagaimana kami mengimplementasikan kebijakan Presiden Prabowo Subianto terkait PPN tetap 11 persen? Kami memanfaatkan opsi lain, yaitu penggunaan DPP nilai lain,” kata Suryo dalam konferensi pers di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, pada Kamis (2/1).
Menurutnya, pemerintah memilih skema DPP nilai lain karena mekanisme ini sudah tercantum dalam Pasal 8A UU PPN. Dengan menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, pemerintah bisa menetapkan tarif efektif PPN sebesar 11 persen tanpa harus merevisi undang-undang.
Perhitungan PPN untuk barang non-mewah tidak mengalami perubahan meskipun tarif PPN diatur naik menjadi 12 persen. Penggunaan DPP nilai lain dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 memungkinkan tarif 12 persen tersebut menjadi efektif 11 persen untuk barang non-mewah.
Dengan demikian, pajak barang mewah mengalami kenaikan, sementara pajak untuk barang non-mewah tetap stabil.