Jakarta, FORTUNE - Pemerintahan Prabowo-Gibran terus mendorong program hilirisasi nikel untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen. Namun demikian, hilirisasi nikel ini berpotensi memberikan spill over effect pada rantai pasok industri-industri pendukung, terutama industri smelter.
Menanggapi kondisi itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan nikel Indonesia.
Salah satunya sertifikasi ESG yang wajib dimiliki nikel apabila memasuki wilayah Eropa. Padahal, Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk minerba. Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan bahwa hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis.
"Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu," kata Meidy melalui keterangan resmi di Jakarta, Kamis (23/1).
Dengan situasi saat ini, Meidy dan APNI menegaskan perlunya mencari solusi bersama. Salah satunya dengan menggandeng Responsible Mining Initiatives (RMI), Nickel Institute.