Sausana di Pasar Al Mahirah, Kota Banda Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)
Menanggapi proyeksi bank sentral tersebut, Chief Economist PermataBank, Josua Pardede menganggap proyeksi tersebut masih realistis. Meski, masih ada bayang-bayang risiko yang menantang dan ketidakpastian global.
“Artinya, secara matematis target 5,7 persen masih mungkin, tetapi sangat menantang dan hanya dapat dicapai bila asumsi konsumsi, investasi, dan ekspor benar-benar terealisasi di atas tren saat ini, di tengah tekanan global yang signifikan,” kata Josua saat dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Senin (1/12).
Tantangan utama, lanjut Josua, datang dari lingkungan global dan eksternal. Mulai dari perang tarif Amerika Serikat yang berkepanjangan, perlambatan ekonomi dunia terutama di Amerika Serikat dan Tiongkok, tingginya utang publik yang menahan suku bunga jangka panjang, hingga kerentanan lembaga keuangan non-bank.
“Dampaknya ke Indonesia terlihat pada tekanan terhadap ekspor komoditas akibat harga yang cenderung melemah, risiko banjir barang murah Tiongkok yang mengancam industri padat karya, serta defisit transaksi modal dan finansial dalam neraca pembayaran di tengah keluarnya dana portofolio,” kata Josua.
Di dalam negeri, pertumbuhan sekitar 5 persen masih didominasi sektor padat modal, sementara sektor padat karya dan UMKM. Penyaluran kredit yang tumbuh lebih lambat dari dana pihak ketiga, hingga transmisi penurunan suku bunga kebijakan ke suku bunga kredit masih lemah juga masih menjadi tantangan di tengah defisit fiskal sekitar 2,7 persen PDB dan agenda belanja pemerintah yang dinilai sangat ambisius.
“Dalam kondisi seperti itu, target 5,7 persen hanya realistis bila tiga blok kebijakan berjalan simultan dan konsisten. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga harus terdorong di atas 5 persen melalui pemulihan daya beli kelas menengah, desain program makan bergizi dan bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, serta kebijakan pajak yang tidak menekan konsumsi,” jelas Josua.
Dengan demikian, proyeksi dasar dari Tim Ekonom Permata Bank untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 hanya berada di sekitar 5,1 persen hingga 5,2 persen. Pertumbuhan ini naik tipis dari 5,0–5,1 persen pada 2025 dengan mempertimbangkan dampak perang dagang, pelemahan harga komoditas, serta keterbatasan ruang kebijakan fiskal dan moneter.