Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi gedung-gedung di Jakarta (pexels.com/Tom Fisk)
ilustrasi gedung-gedung di Jakarta (pexels.com/Tom Fisk)

Intinya sih...

  • BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI pada 2026 akan tumbuh 4,9-5,7% didukung konsumsi, investasi, dan ekspor yang baik.

  • Proyeksi tersebut masih realistis namun diliputi bayang-bayang risiko global dan ketidakpastian menurut Chief Economist PermataBank.

  • Pertumbuhan sekitar 5% masih didominasi sektor padat modal, sementara sektor padat karya dan UMKM serta penyaluran kredit menjadi tantangan di dalam negeri.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE – Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2026 akan tumbuh dalam kisaran 4,9 persen hingga 5,7 persen. Faktor pendukungnya, konsumsi dan investasi yang meningkat, serta ekspor yang cukup baik di tengah perlambatan ekonomi dunia.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), menyampaikan optimisme bahwa perekonomian Indonesia ke depan akan lebih baik dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dan berdaya tahan, dengan tetap mewaspadai ketidakpastian global yang tinggi. 

“Stabilitas eksternal dan sistem keuangan tetap terjaga, disertai digitalisasi yang terus berkembang pesat,” kata Perry di Jakarta (28/11).

Ke depan, lanjut Perry, terdapat lima tantangan global perlu terus dicermati dan diwaspadai, yakni berlanjutnya kebijakan tarif AS, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, tingginya utang Pemerintah dan suku bunga negara maju, tingginya kerentanan dan risiko sistem keuangan dunia, serta maraknya uang kripto dan stable coins pihak swasta.

Ekonomi RI masih diliputi bayang-bayang risiko 

Sausana di Pasar Al Mahirah, Kota Banda Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Menanggapi proyeksi bank sentral tersebut, Chief Economist PermataBank, Josua Pardede menganggap proyeksi tersebut masih realistis. Meski, masih ada bayang-bayang risiko yang menantang dan ketidakpastian global. 

“Artinya, secara matematis target 5,7 persen masih mungkin, tetapi sangat menantang dan hanya dapat dicapai bila asumsi konsumsi, investasi, dan ekspor benar-benar terealisasi di atas tren saat ini, di tengah tekanan global yang signifikan,” kata Josua saat dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Senin (1/12).

Tantangan utama, lanjut Josua, datang dari lingkungan global dan eksternal. Mulai dari perang tarif Amerika Serikat yang berkepanjangan, perlambatan ekonomi dunia terutama di Amerika Serikat dan Tiongkok, tingginya utang publik yang menahan suku bunga jangka panjang, hingga kerentanan lembaga keuangan non-bank.

“Dampaknya ke Indonesia terlihat pada tekanan terhadap ekspor komoditas akibat harga yang cenderung melemah, risiko banjir barang murah Tiongkok yang mengancam industri padat karya, serta defisit transaksi modal dan finansial dalam neraca pembayaran di tengah keluarnya dana portofolio,” kata Josua.

Di dalam negeri, pertumbuhan sekitar 5 persen masih didominasi sektor padat modal, sementara sektor padat karya dan UMKM. Penyaluran kredit yang tumbuh lebih lambat dari dana pihak ketiga, hingga transmisi penurunan suku bunga kebijakan ke suku bunga kredit masih lemah juga masih menjadi tantangan di tengah defisit fiskal sekitar 2,7 persen PDB dan agenda belanja pemerintah yang dinilai sangat ambisius.

“Dalam kondisi seperti itu, target 5,7 persen hanya realistis bila tiga blok kebijakan berjalan simultan dan konsisten. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga harus terdorong di atas 5 persen melalui pemulihan daya beli kelas menengah, desain program makan bergizi dan bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, serta kebijakan pajak yang tidak menekan konsumsi,” jelas Josua.

Dengan demikian, proyeksi dasar dari Tim Ekonom Permata Bank untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 hanya berada di sekitar 5,1 persen hingga 5,2 persen. Pertumbuhan ini naik tipis dari 5,0–5,1 persen pada 2025 dengan mempertimbangkan dampak perang dagang, pelemahan harga komoditas, serta keterbatasan ruang kebijakan fiskal dan moneter.

Editorial Team