Jakarta, FORTUNE - Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS atau Fed menimbulkan kekhawatiran akan tergerusnya cadangan devisa (cadev) Indonesia. Per September lalu, misalnya, posisi cadev kembali mengalami penurunan menjadi US$130,8 miliar dari sebelumnya US$132,2 miliar pada Agustus.
Tidak hanya di Indonesia, cadev bank sentral di berbagai negara juga banyak terkikis akibat kebijakan intervensi nilai tukar. Mengutip Bloomberg, cadangan devisa bank sentral global pada akhir September telah turun US$1 triliun atau 7,8 persen menjadi US$12 triliun. Ini merupakan penurunan cadev dengan laju tercepat sejak pendataan kali pertama dilakukan pada 2003.
Lantas bagaimana kondisi cadev Indonesia saat ini, dan berapa miliar US$ lagi yang akan dikeluarkan Bank Indonesia untuk melakukan stabilisasi nilai tukar?
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susanto, mengatakan posisi cadev September lalu masih cukup memadai. Jumlahnya setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Bahkan, kalau dilihat per September saja, bandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, penurunan cadangan devisa kita termasuk yg paling kecil. Sementara, pelemahan rupiah relatif lebih terbatas atau masih sama dengan pelemahan mata uang Asia lainnya," ujarnya.
Dalam operasi moneter, BI tidak mematok berapa besar cadev yang harus dikeluarkan untuk tiap sen pelemahan rupiah terhadap dolar. Sebab, pergerakan nilai tukar tersebut sangat tergantung dengan kondisi permintaan (demand) dan suplainya (supply) di pasar.
Dus, yang menjadi perhatian BI dalam operasi moneter adalah berapa besar aliran modal yang keluar (outflow) dan masuk (inflow) di pasar keuangan.
Namun, dalam hal ini, BI juga mengutamakan mekanisme pasar. Artinya sepanjang pasokan di pasar masih tersedia, maka BI belum akan jor-joran melakukan intervensi.
"Kami tentunya masuk pasar hanya memastikan pergerakan harga yang terbentuk jangan sampai ekstrem, kecuali kalau suplai dari market hilang atau sangat sedikit, maka tentunya kita agak lebih bold," katanya kepada Fortune Indonesia.