CEO Indodax, Oscar Darmawan, pernyataan bank sentral Tiongkok itu sempat menyebabkan aksi jual massal mata uang digital. Namun, menurutnya meski pelarangan tersebut sempat membuat harga bitcoin dan aset kripto lainnya jatuh, tetapi atensi dan minat masyarakat dunia sampai saat ini justru semakin tinggi.
Dia menambahkan, pemberitaan tersebut semestinya tidak menjadi sebuah kekhawatiran besar untuk para investor.
“Investor tidak perlu was was. Menurut saya, pengumuman ini hanya akan berdampak jangka pendek karena aksi market jual yang sifatnya memang hanya sementara," ujar Oscar dalam keterangan tertulis, Senin (27/9).
Ia optimistis secara jangka panjang pelarangan itu tidak akan berdampak pada harga mata uang kripto. Dia mencontohkan, pada 1 Januari 2021, harga bitcoin menyentuh US$ 29.576 per koin atau setara sekitar Rp422 juta. Saat ini, harga bitcoin sudah menyentuh angka US$43.942 per koin atau setara Rp626 juta per 28 September.
Tiongkok memang negara yang sangat keras terkait transaksi kripto. Namun, hal ini menurutnya tidak perlu dikhawatirkan, mengingat banyak negara lain yang justru mendukung pertumbuhan aset kripto, termasuk Indonesia. Indonesia memperbolehkan aset kripto menjadi suatu komoditas dan sudah resmi diatur di bawah BAPPEBTI.
“Ekosistem Tiongkok dirancang tertutup termasuk internet. Tiongkok memblokir Youtube, WhatsApp, Facebook, Google dan menciptakan layanannya sendiri, tapi keempat layanan tersebut toh tetap berjaya sampai saat ini," ujar Oscar.
Sementara itu, Co-founder CryptoWatch, Christopher Tahir mengungkapkan, sentimen tersebut akan lebih memberikan efek kepada para pemain baru dan menimbulkan kepanikan. Namun, bagi pemain lama sentimen negatif yang membuat harga terkoreksi tajam justru dimanfaatkan untuk melakukan akumulasi dan sentimen tersebut tidak banyak memberikan dampak negatif bagi mereka.
Christopher mengatakan, saat ini akan menjadi periode yang volatile bagi pasar kripto karena pasar akan menantikan banyak kepastian. Namun, sampai kapan harga terkoreksi belum bisa dipastikan.
“Banyak sekali faktor X yang juga tidak terpublikasi sebelumnya. Seperti contohnya krisis Evergrande yang sebelumnya gak ada yang dengar, tiba-tiba meledak. Faktor lainnya bergantung pada edukasi kepada investor ritel, persepsi dari pemain besar, dan kondisi perekonomian nantinya,” katanya kepada Fortune Indonesia Rabu (29/9).
Menariknya, di tengah kebijakan Tiongkok untuk menghindari risiko spekulatif uang kripto terhadap pasar keuangan mereka, justru di saat yang sama, bank sentral Tiongkok tengah menguji mata uang digitalnya sendiri.
“Sama seperti kebiasaan Tiongkok sejak dulu, tiap kali mereka ban suatu teknologi atau platform, akan diikuti dengan pembuatan dalam negeri mereka. Misal Google di ban, dibuat Baidu. Saat ini tampaknya finalisasi yuan digital semakin dekat, sehingga ini dilakukan guna memudahkan pemerintah nge-push ke rakyatnya,” ujarnya.