Ilustrasi tumpukan uang tunai/Antarafoto Muhammad Adimaja/YU
Sejalan dengan pandangan tersebut, DBS Group Research juga memperkirakan kenaikan BI rate sebesar 75 bps hingga akhir 2022 menjadi 5. Kondisi tersebut terjadi bila terjadi peningkatan risiko gejolak ekonomi global di luar ekspektasi.
“Untuk obligasi, bank sentral mengindikasikan bahwa ada kemungkinan melanjutkan operasi twist yaitu strategi kebijakan moneter untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga jangka panjang,” tulis laporan DBS Group Research yang dikutip di Jakarta, Rabu (5/10).
Kondisi tersebut dilakukan, untuk mengendalikan suku bunga jangka panjang, seraya memungkinkan suku bunga jangka pendek bisa menyesuaikan diri sebagai upaya menjaga likuiditas pasar.
Selain itu, DBS Group Research juga memandang inflasi domestik bakal meningkat akibat dampak langsung dari kenaikan harga bahan bakar bersubsidi. Tantangan tersebut juga dibarengi oleh tekanan pada mata uang rupiah akibat penguatan dollar AS karena kebijakan Bank Sentral AS (The Fed).
“Terlepas dari neraca perdagangan kuat, ketahanan domestik yang dalam tren pertumbuhan juga mendorong pengetatan kebijakan dan melakukan kebijakan agresif,” tulis DBS.
Seperti diketahui, pada Rabu pagi (5/10) nilai tukar rupiah berada di level Rp15.200/US$. Mata uang Garuda menguat 47 poin atau 0,31 persen dari perdagangan sebelumnya.