Jakarta, FORTUNE - Indonesia diminta untuk menyikapi secara hati-hati tren kenaikan harga minyak dunia saat ini. Pasalnya, kenaikan harga komoditas tersebut bisa berdampak pada laju inflasi dalam negeri.
Trading Economics mencatat, harga minyak dunia versi Brent, misalnya, pada perdagangan Jumat (22/10) telah mencapai US$84,1 per barel. Posisi harga ini dalam sebulan terakhir meningkat 8,85 persen. Bahkan, secara tahunan (year-on-year/yoy) juga tumbuh 101,3 persen.
Begitu juga harga versi West Texas Intermediate (WTI) yang di waktu bersamaan mencapai US$82,0 per barel. Itu artinya posisi harga WTI ini juga naik 105,8 persen. Harga minyak baik versi Brent maupun WTI posisinya juga sudah melebihi era sebelum pandemi Covid-19.
Bank Dunia dalam laporan terbarunya “Prospek Pasar Komoditas” mengingatkan bahwa tren lonjakan harga energi— termasuk minyak mentah—bisa berdampak terhadap tekanan inflasi global. Lembaga ini bahkan memperkirakan harga energi akan tetap tinggi pada 2022.
“Lonjakan harga energi menimbulkan risiko jangka pendek yang signifikan terhadap inflasi global dan, jika berkelanjutan, juga dapat membebani pertumbuhan di negara-negara pengimpor energi,” kata Kepala ekonom dan Direktur Grup Prospek Bank Dunia, Ayhan Kose, dalam keterangan pers, Jumat (22/10).
Menurut Kose, rebound tajam pada harga komoditas saat ini ternyata lebih dari yang diprediksikan sebelumnya. Volatilitas harga energi baru-baru ini, katanya, dapat memperumit pilihan kebijakan sejumlah negara yang tengah pulih dari perlambatan ekonomi tahun lalu.
Bank Dunia menyebutkan, harga minyak pada 2020 diproyeksikan mencapai US$74 per barel, menurun dari tahun ini, namun masih lebih tinggi dari era sebelum pandemi. Menurut lembaga ini, permintaan komoditas ini menguat karena sebagai pengganti gas alam yang harganya juga naik.
Lembaga ini menambahkan, harga gas alam (dan juga batu bara) sedang mencapai rekor tertinggi karena kendala pasokan dan permintaan listrik yang meningkat. Meskipun harga kedua komoditas itu diperkirakan turun pada 2022, namun lonjakan harga dapat terjadi dalam waktu dekat di tengah persediaan yang sangat rendah dan hambatan pasokan.
Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa ada sejumlah risiko besar, mulai dari cuaca buruk, pemulihan Covid-19 yang tidak merata, ancaman lebih banyak wabah, gangguan rantai pasokan, hingga kebijakan lingkungan. Berbagai risiko ini bisa membuat harga pangan naik bersamaan dengan tren lonjakan harga energi, “Hal ini mendorong inflasi harga pangan naik dan meningkatkan kekhawatiran ketahanan pangan di beberapa negara berkembang,” katanya.