Jakarta, FORTUNE - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini mengatakan kurangnya efisiensi dan optimalisasi anggaran selama pandemi Covid-19 membuat beban utang yang ditanggung pemerintah meningkat drastis.
Alih-alih melakukan belanja secara efektif, kata dia, pejabat negara justru memaksimalisasi anggaran (budget maximizer) dalam APBN maupun APBD. Imbasnya, peningkatan utang untuk membiayai belanja negara justru tidak berjalan lurus dengan pertumbuhan ekonomi.
"Kita tahu ekspansi sangat besar, sementara efisiensi tidak diutamakan dan itu kemudian meninggalkan utang yang cukup besar. Ini perlu dikritisi karena ratusan bupati, wali kota, ribuan anggota parlemen di pusat dan daerah, maximizing budget ini kuat," ujar Didik dalam webunar Advancing Debt and Economic Justice Through G20 Dialogue di Nusa Dua Beach Hotel and Spa, Bali, Kamis (14/7).
Menurut Didik, kondisi ini berhulu pada lemahnya check and balances di dalam pemerintahan. Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), misalnya, fungsi tersebut tak berjalan lantaran mayoritas anggota parlemen berasal dari partai pendukung pemerintah.
Kondisi ini juga tak lepas dari karakter pejabat dan politisi yang cenderung memaksimalkan anggaran negara untuk meraup keuntungan demi kembali menjabat di masa pemerintahan berikut. "Saya melihat justru dalam keadaan krisis Covid-19, pejabat-pejabat kemudian departemen-departemen itu melakukan suatu kegiatan yang sangat banyak, pergi sana, pergi sini, dan seterusnya," lanjutnya.
Sebaliknya, di sektor swasta, penggunaan anggaran selama krisis justru lebih optimal dan berbanding lurus dengan keuntungan yang dihasilkan. "Kalau pengusaha minimizing budget (minimalisasi anggaran) supaya ada profit dan perusahaannya itu berjalan. Dan minimizing budget dikontrol oleh market mechanism (mekanisme pasar). Sementara di politik, kebijakan utang, itu maximizing budget hanya bisa dikontrol dengan checks and balances, demokrasi. Tanpa kontrol itu tidak akan bisa," jelasnya.