Jakarta, FORTUNE - Inflasi Amerika Serikat (AS) hingga lebih dari 6 persen menjadi rekor tertinggi yang tercatat dalam sejarah negeri tersebut dalam 30 tahun terakhir. Tanda bahaya pemantik kewaspadaan pun menyala di berbagai bagian dunia. Sebab, tren kenaikan inflasi meningkatkan ketidakpastian pada pasar keuangan global seiring belum jelasnya bank sentral Amerika Serikat akan kebijakan suku bunga acuannya.
“Beberapa pihak menyebut overheating dan mendorong policy maker di Amerika terutama The Fed ini mulai melakukan pengetatan,” kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, kepada Fortune Indonesia melalui sambungan telepon, Senin (22/11).
Walau bank sentral AS belum mengumumkan kenaikan suku bunganya, laju pengurangan pembelian aset atau tapering yang telah diumumkan oleh The Fed, kata Riefky, pasti akan berpengaruh pada arus modal dari negara maju ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Bisa dipastikan arus modal asing bakal keluar, dan kelak ikut mendepresiasi rupiah.
“Seberapa kencang (dampaknya) itu tergantung seberapa ketat kebijakan (bank sentral AS),” ujarnya.
Menurutnya, komunikasi The Fed dalam mengumumkan kebijakannya cenderung baik sejauh ini. Hal itu terlihat dari arus modal asing yang tidak keluar secara tiba-tiba. Akhirnya, risiko depresiasi rupiah atas dollar AS dapat ditekan. “Ini akan seberapa lama dan seberapa besar tapering off dilakukan. Ini kita hanya baru arahan The Fed sampai akhir tahun. Kita belum tahu untuk tahun depan seperti apa,” katanya.